Entri Populer

Rabu, 09 Februari 2011

Ilusi Tentang Sesosok "Jiwa"

klik disini untuk lihat tautan info
Buddha mengajarkan bahwa tidak ada "jiwa", tidak ada inti yang hakiki dan permanen bagi sesosok mahluk hidup. Apa yang kita sebut sebagai "mahluk hidup" ini, manusia atau bukan, dapat dilihat tidak lain sebagai sebuah kumpulan sementara dari banyak bagian dan kegiatan---yang ketika komplit disebut "mahluk hidup", tetapi ketika bagian-bagian itu terpisah dan kegiatannya telah berakhir, hal tersebut tidak lagi disebut "mahluk hidup".  Seperti komputer yang dirakit dari banyak komponen dan aktivitas, hanya ketika sudah lengkap dan melaksanakan tugas-tugas tertentu, maka disebut "komputer", tetapi ketika komputer itu dibongkar dan aktivitasnya padam, maka tidak lagi disebut sebagai "komputer".  Tidak ada inti yang hakiki dan permanen yang dapat ditemukan yang benar-benar dapat kita sebut sebagai "komputer".  Begitu pula, tidak ada inti yang hakiki dan permanen yang dapat ditemukan di dalam sesosok mahluk hidup yang benar-benar dapat kita sebut sebagai "jiwa".

Namun, kelahiran berulang tetap terjadi tanpa adanya sosok "jiwa".  Pertimbangkan perumpamaan ini: di sebuah altar Buddhis sebuah lilin mulai meredup dan hampir padam.  Seorang bikkhu mengambil lilin yang lain dan menyalakannya dengan api dari lilin yang lama.  Lilin yang lama padam, tetapi yang baru menyala terang.  Apakah yang berpindah dari lilin yang lama ke lilin yang baru?  Terdapat kaitan musabab, tetapi tak ada "sesuatu" pun yang pindah!  dengan cara yang sama, terdapat kaitan musabab antara kehidupan lampau Anda dan kehidupan Anda sekarang, tetapi tidak ada "jiwa" yang berpindah.

Memang, ilusi tentang "jiwa" ini dikatakan oleh Buddha sebagai sebab akar dari semua penderitaan manusia.  Ilusi tentang "jiwa" mengejewantah sebagai "ego".  Fungsi alami yang tak terhentikan dari "ego" adalah untuk mengendalikan.  Ego yang besar ingin mengendalikan dunia, ego yang sedang mencoba mengendalikan lingkungan rumah, keluarga, dan tempat kerja, dan semua ego berjuang untuk mengendalikan apa yang mereka anggap sebagai badan dan batin mereka sendiri.  Kendali semacam itu mewujud sebagai nafsu dan penolakan, dan hasilnya adalah kurangnya kedamaian internal dan keselarasan eksternal.  Ego inilah yang menuntut untuk meraup kepemilikan, memanipulasi pihak lain, dan mengeksploitasi lingkungan.  Tujuannya adalah untuk kebahagiaannya sendiri, tetapi tak pelak menghasilkan penderitaan.  Ego berhasrat untuk puas tetapi mengalami ketidakpuasan.  Penderitaan yang berakar kuat semacam ini tidak dapat sampai pada sebuah akhir sampai kita melihat, melalui pandangan cerah berlandaskan meditasi yang mendalam dan kokoh, bahwa gagasan "aku dan milikku" tidak lebih dari khayalan belaka.

sumber : buku "Hidup Senang Mati Tenang" oleh Ajahn Brahm
diterbitkan oleh Ehipassiko Foundation http://www.ehipassiko.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar