Entri Populer

Rabu, 31 Agustus 2011

BEYOND BELIEF

BEYOND BELIEF
Oleh : A L De Silva

Bab I         Pendahuluan
Bab II       Kritik Terhadap Argumen Orang Kristen Bahwa Tuhan itu Ada
Bab III      Mengapa Tuhan Tidak Mungkin Ada
Bab IV      Tuhan atau Buddha, Siapakah Yang Tertinggi?
Bab V       Kenyataan dan Fisik dalam Kehidupan Kristen
Bab VI      Kritik Terhadap Isi Alkitab
Bab VII     Ajaran Sang Buddha – Alternatif yang Masuk Akal
Bab VIII    Bagaimana Kita Menjawab Pertanyaan Para Penyebar Injil
Bab IX      Kesimpulan
===============================================================
Bab I
Pendahuluan
Tujuan dari buku ini ada 3 macam. Yang pertama, buku ini ditujukan untuk menguji pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para fundamentalis, evangelis (penyebar Injil) dan Kristen karismatik, dan dengan demikian menyorot problem-problem logika, filosofi, etis yang mereka artikan dalam kehidupan agama Kristen. Dalam melakukan hal ini saya berharap untuk dapat menampilkan fakta-fakta kepada umat Buddha, supaya bisa dipakai sebagai pedoman sewaktu anda (umat Buddha) diajak untuk berpindah agama. Buku ini sebisa mungkin membuat pertemuan antar dua umat ini menjadi lebih seimbang, dan semoga bisa mempertahankan keyakinan akan ajaran Sang Buddha. Kenyataannya adalah banyak umat Buddha yang tau sangat sedikit akan ajaran agama sendiri, dan juga tidak tau akan ajaran agama Kristen – yang mana justru menimbulkan kesulitan bagi umat Buddha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang Kristen atau untuk menyangkal pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh orang-orang Kristen.
Tujuan kedua dari buku ini adalah untuk membantu umat Kristiani-yang mungkin membacanya, supaya mengerti mengapa ada orang yang tidak, dan tidak akan pernah, menjadi umat Kristen. Semoga, dengan adanya pengertian ini bisa membantu mereka untuk menerima keputusan umat Buddha. Semoga pula dengan adanya penerimaan keputusan ini bisa menciptakan persahabatan yang tulus dengan umat Buddha daripada bersahabat dikarenakan mereka adalah teman yang berpotensi untuk diajak pindah agama. Dalam upaya untuk mencapai tujuan kedua ini, saya telah mengajukan sebanyak mungkin pertanyaan-pertanyaan sulit, pertanyaan-pertanyaan itu lebih dari sekedar pertanyaan yang kita jumpai sehari-hari. Kalau kelihatannya saya terkadang terlalu keras dalam upaya saya mencapai tujuan ini, saya harap ini tidak diartikan bahwa saya digerakkan oleh kedengkian. Saya dulunya adalah seorang umat Kristen untuk beberapa tahun and sampai sekarang masih mempunyai rasa hormat yang tulus, dan bahkan kekaguman atas beberapa aspek Kristiani. Bagi saya, ajaran Yesus justru merupakan tahap yang penting dalam kepindahan saya ke agama Buddha. Dan oleh karenanya saya menjadi umat Buddha      yang lebih baik daripada kalau saya menjadi pemeluk agama Buddha tanpa latar belakang Kristen. Akan tetapi, ketika para fundamentalis, penyebar Injil dan Kristen karismatik menyatakan bahwa ajaran agama merekalah yang benar, dan berusaha untuk menanamkan keyakinan mereka kepada orang lain, maka mereka haruslah bersiap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya akan pertanyakan tentang agama mereka (Kristen).
Tujuan ketiga dari buku ini adalah untuk membangkitkan para umat Buddhis untuk mencapai keyakinan dan penghargaan yang lebih dalam kepada agama mereka sendiri. Di beberapa negara Asia, Buddhisme diajarkan sebagai suatu tahyul yang sudah kadaluarsa, sedangkan agama Kristen dianggap sebagai agama yang mempunyai semua jawaban. Seiring dengan tumbuhnya pengaruh Barat di negara-negara Asia tersebut, kehidupan Kristen dengan kesan “modern”-nya mulai kelihatan lebih menarik. Saya yakin buku ini akan menunjukkan secara luas bahwa ajaran agama Buddha dapat mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan Kristiani yang sulit dijawab oleh orang Kristen. Dan pada saat yang sama, menawarkan penjelasan-penjelasan Buddhis tentang teka-teki kehidupan secara jelas, dan membuat jawaban dan penjelasan Kristen menjadi tidak rasional.
Beberapa kalangan Buddhis mungkin tidak setuju terhadap buku seperti ini, atas dasar keyakinan bahwa ajaran agama Buddha yang halus dan toleran sudah seyogyanya menahan diri dari upaya mengkritik agama lain. Akan tetapi Sang Buddha tidaklah mengajarkan demikian.
Di dalam Mahaparinibbana Sutta, Beliau mengatakan bahwa murid-muridnya selayaknya “mengajarkan Dhamma, menyampaikan Dhamma, membangun Dhamma, menguraikan Dhamma, menyelidiki Dhamma, menerangkan Dhamma, dan dapat bertindak dalam Dhamma untuk menyangkal ajaran-ajaran yang salah yang telah muncul.” Penyelidikan dan kritik yang cermat adalah sangat penting dalam membantu memisahkan kebenaran dari ketidakbenaran, sehingga kita dapat berada di dalam posisi yang lebih baik untuk memilih di antara “dua dan enam puluh sekte yang saling bertentangan.” Kritik terhadap agama lain hanyalah menjadi tidak pantas ketika kritik itu didasarkan atas penyajian keliru yang disengaja, atau kritik itu menurun menjadi suatu upaya untuk menjelek-jelekkan satu sama lain. Saya harap saya telah menghindari penyajian keliru yang disengaja dan saling menjelekkan.
A L De Silva
=====================================================
Bab II

Kritik Terhadap Argumen Orang Kristen Bahwa Tuhan Itu Ada
Orang-orang Kristen sering menyatakan bahwa Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Tahu itu ada dan mengontrol seluruh isi alam semesta. Beberapa argumen dipakai untuk membuktikan ide ini, kita akan menguji argumen-argumen tersebut dan menampilkan sangkalan Buddhis terhadap argumen tersebut.

Tingkat Kebenaran dari Alkitab
Ketika diminta untuk membuktikan keberadaan Tuhan, seorang Kristen akan membuka Alkitab dan berkata, “Injil mengatakan Tuhan ada, maka Tuhan pasti ada.” Akan tetapi, kenyataannya jika kita menanyakan pertanyaan yang sama kepada seorang Hindu, Islam, Sikh atau Yahudi, maka merekapun akan menunjukkan kitab suci mereka sebagai bukti keberadaan Tuhan. Mengapa kita harus percaya kepada Alkitab? Mengapa kita tidak bisa percaya pada isi kitab suci agama lain? Penggunaan Alkitab untuk menunjukkan keberadaan Tuhan hanyalah mutlak JIKA Alkitab berisi kata-kata Tuhan. Akan tetapi, kita tidak mempunyai bukti nyata bahwa Alkitab berisi firman Tuhan. Pada bab-bab yang selanjutnya akan kita buktikan secara kuat bahwa Alkitab adalah dokumen yang sangat tidak bisa dipercaya.

Keberadaan Alam Semesta
Dalam usaha mereka untuk membuktikan keberadaan Tuhan, orang Kristen terkadang berkata, “Alam semesta ini tidak terjadi begitu saja, seseorang pastilah menciptakan alam semesta ini, maka haruslah ada yang kita sebut Tuhan Sang Pencipta.” Argumen ini memiliki kesalahan yang sangat besar. Ketika hari mulai hujan, kita tidak pernah bertanya, “Siapa yang membuat hujan ini?” karena kita tahu bahwa hujan ini tidak dikarenakan oleh seseorang, akan tetapi hujan ini dikarenakan oleh sesuatu -fenomena alam seperti panas, penguapan, pengendapan dalam bentuk awan, dsb. Ketika kita melihat batu yang halus di sungai, kita tidak bertanya, “Siapakah yang memoles batu-batu itu?” karena kita tahu bahwa permukaan batu yang halus itu tidak dikarenakan oleh seseorang, akan tetapi dikarenakan oleh sesuatu – kejadian-kejadian alam seperti gesekan pasir dan air.
Semua kejadian-kejadian alam (hujan, batu halus) ini terjadi oleh suatu atau beberapa sebab, tapi sebab itu bukanlah sebuah makhluk. Sama halnya dengan alam semesta ini – tidak diciptakan oleh Tuhan, tapi oleh fenomena alam seperti gravitasi, kelembaman, pembelahan bintang, dsb. Akan tetapi, meskipun kalau kita percaya perlunya keberadaan makhluk yang lebih tinggi untuk menerangkan terjadinya alam semesta, bukti apa yang bisa dipakai untuk menjelaskan bahwa makhluk yang lebih tinggi itu adalah Tuhan orang-orang Kristen? MUNGKIN SAJA, alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan Hindu, Tuhan Islam atau salah satu Tuhan yang dipuja oleh agama-agama lain. Pada akhirnya, semua agama mengklaim bahwa Tuhan mereka yang menciptakan alam semesta ini. Jadi bukan hanya orang Kristen saja yang bisa mengklaim seperti itu.
Argumen Tentang Penciptaan dan Rancangan
Untuk menjawab sangkalan di atas, orang Kristen akan mempertahankan pendapatnya bahwa alam semesta ini tidak terjadi begitu saja, tetapi keberadaan alam semesta ini adalah hasil penciptaan dan desain yang sempurna. Orang Kristen juga mungkin akan mengatakan bahwa adanya makhluk Maha pintar yang disebut Tuhan yang mendesain dan menciptakan alam semesta ini berikut semua urutan penciptaan dan keseimbangannya. Akan tetapi seperti sebelumnya, ada beberapa masalah yang muncul dari argumen di atas.
Pertama, bagaimana seorang Kristen bisa tahu bahwa Tuhan-nya yang melatarbelakangi penciptaan seluruh isi alam semesta ini? Mungkin saja Tuhan-Tuhan lain yang bukan Kristen yang menciptakan dan mendesain alam semesta ini.
Kedua, bagaimana seorang Kristen bisa tahu bahwa hanya 1 (satu) Tuhan yang mendesain semua ini? Kenyataannya, alam semesta ini begitu kompleks dan ruwet sehingga kita boleh saja berpendapat bahwa beberapa, atau berlusin-lusin Tuhan terlibat dalam rancangan alam semesta ini. Kalau sekiranya ada argumen tentang penciptaan alam semesta, maka banyak Tuhan yang terlibat lebih masuk akal daripada hanya satu Tuhan saja seperti yang diutarakan oleh orang Kristen.
Yang berikutnya, kita juga harus menanyakan, apakah alam semesta ini dirancang secara sempurna? Kita harus menanyakan ini karena kalau Tuhan yang Maha Sempurna yang merancang dan menciptakan alam semesta ini, maka alam semesta ini juga harus sempurna. Marilah kita teliti secara seksama fenomena benda tak hidup. Hujan memberikan kita air murni untuk diminum, akan tetapi terkadang hujan yang terlalu deras menimbulkan banjir dan menyebabkan orang kehilangan nyawa, rumah, dan                 mata-pencaharian. Terkadang malahan tidak hujan sama sekali sehingga jutaan orang meninggal karena kemarau dan kelaparan yang berkepanjangan. Apakah ini yang disebut rancangan yang sempurna? Gunung-gunung menjulang ke angkasa yang indah sedap dipandang mata. Akan tetapi tanah longsor dan gunung meletus yang terjadi dari abad ke abad telah menimbulkan banyak kerugian dan kematian. Apakah ini yang disebut rancangan yang sempurna? Hembusan angin yang sejuk memang menyenangkan, akan tetapi badai dan topan telah seringkali menyebabkan kehancuran dan hilangnya banyak nyawa. Apakah ini yang disebut rancangan yang sempurna? Hal-hal di atas dan malapetaka alam membuktikan secara nyata bahwa fenomena benda tak hidup tidak mencerminkan kesempurnaan rancangan alam semesta sehingga mereka tidak diciptakan oleh satu Tuhan yang sempurna.
Sekarang marilah kita lihat fenomena benda hidup untuk membuktikan apakah mereka juga mencerminkan rancangan yang sempurna. Sekilas pandangan yang dangkal memperlihatkan bahwa alam kelihatan indah dan penuh harmoni; semua makhluk hidup berkecukupan dan masing-masing mempunyai tugas di dunia ini. Akan tetapi, semua ilmuwan biologi menyatakan dan membenarkan bahwa alam ini sangatlah kejam. Untuk bertahan hidup, makhluk hidup yang satu harus memakan makhluk hidup yang lain, dan harus berusaha untuk menghindarkan diri dari menjadi mangsa makhluk yang lain. Di alam ini, tidak ada secuilpun waktu untuk berbelas-kasihan, cinta kasih ataupun pengampunan. Kalau Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang merancang semua ini, mengapa Ia menciptakan rancangan yang demikian kejamnya? Dunia binatang bukanlah satu-satunya rancangan yang tidak sempurna dari sudut pandang etis. Makhluk hidup juga tidak sempurna karena seringkali terjadi kesalahan yang tak masuk akal. Setiap tahun jutaan bayi dilahirkan dengan cacat mental dan atau anggota tubuh, atau meninggal dalam kandungan, atau bahkan meninggal di saat baru saja dilahirkan. Mengapa Tuhan yang Sempurna mau menciptakan hal-hal buruk itu?
Jadi, kalau ada rancangan di alam semesta ini, kebanyakan dan sebagian besar dari rancangan itu adalah tidak sempurna dan kejam. Kenyataan di atas menandakan bahwa alam semesta ini tidak diciptakan oleh Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Sempurna. (Catatan dari penterjemah: Baca juga ayat Kejadian 6:5-7 yang mencantumkan bahwa TUHAN menyesal atas ciptaanNya. Dan bahwa Ia akan menghapus manusia yang telah Ia ciptakan maupun hewan-hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara karena Ia menyesal bahwa Ia telah menjadikan mereka.)

Argumen Sebab Yang Pertama
Terkadang orang-orang Kristen akan mengatakan bahwa semuanya terjadi pasti ada penyebab utamanya, dan Tuhan adalah penyebab utama semua itu. Argumen yang sudah tua ini justru menunjukkan kelemahanNya sendiri. Karena jika semuanya yang terjadi mempunyai sebab utama, maka sebab utama itu sendiri juga harus mempunyai sebab utama.
Problema berikutnya dari argumen ini adalah secara logika, kita tidak mempunyai alasan untuk berasumsi bahwa segala sesuatu memiliki sebab utama. Mungkin enam, sepuluh atau tiga ratus sebab terjadi secara bersamaan yang menyebabkan semuanya ini.

Keajaiban-keajaiban
Orang-orang Kristen mengklaim bahwa keajaiban dan mukjizat seringkali dilakukan dalam nama Tuhan membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Argumen ini sangat menarik dan mempesona, sampai kita lihat secara lebih dekat lagi.
Orang-orang Kristen akan dengan cepat menyatakan bahwa doa-doa mereka telah membuat orang buta untuk bisa melihat kembali, yang tuli bisa mendengar, dan yang pincang bisa berjalan normal. Akan tetapi mereka tidak dengan segera memperlihatkan bukti-bukti nyata untuk mendukung pernyataan mereka tersebut. Bahkan, beberapa orang-orang Kristen sangat ingin membuktikan bahwa doa-doa mereka menimbulkan mukjizat, mereka mengutarakan banyak klaim-klaim kosong, omong besar dan secara sadar berbohong, tanpa memperhatikan kenyataan dan kebenaran yang ada.
Memang mukjizat terjadi di beberapa upacara keagamaan – akan tetapi mukjizat itu tidak terjadi di dalam agama Kristen saja. Orang-orang Hindu, Islam, Taoisme dan semua orang dari berbagai agama juga menyatakan Tuhan atau tuhan-tuhan mereka juga menampilkan keajaiban-keajaiban. Tentu saja kaum Kristen tidak memonopoli terjadinya mukjizat maupun keajaiban. Kalau mukjizat yang dilakukan dalam nama Tuhan orang Kristen membuktikan bahwa Tuhan itu ada, maka mukjizat yang dilakukan oleh agama lain juga sudah secara logika membuat kita berkesimpulan bahwa tuhan-tuhan dari agama lain juga ada.
Orang-orang Kristen bisa mencoba untuk mengatasi kenyataan ini dengan mengklaim bahwa, ketika mukjizat terjadi di dalam agama lain, mukjizat itu dilakukan dalam nama Iblis. Mungkin cara terbaik untuk menjawab klaim ini adalah untuk mengambil salah satu isi Alkitab. Ketika Yesus menyembuhkan orang sakit, lawan-lawanNya menuduhNya melakukan penyembuhan itu melalui perantaraan Iblis. Yesus menjawab bahwa menyembuhkan orang yang sakit menimbulkan kebaikan, dan jika Iblis berbuat kebaikan, maka Iblis akan menghancurkan dirinya sendiri. (Markus 3:22-26). Maka hal yang sama juga bisa dikatakan bahwa keajaiban-keajaiban dalam agama lain adalah untuk kebaikan, bagaimana mungkin keajaiban itu dilakukan dalam nama Iblis?

Argumen Tentang Pentingnya Tuhan
Orang-orang Kristen akan sering berkata bahwa hanya dengan percaya kepada Tuhanlah, orang akan mempunyai kekuatan untuk menghadapi banyak problema kehidupan, dan dengan demikian kepercayaan kepada Tuhan itu adalah sangat penting. Klaim-klaim seperti ini ternyata didukung oleh banyak buku yang ditulis oleh orang-orang Kristen yang telah bebas dalam mengatasi berbagai macam krisis kehidupan melalui nama Tuhan. Beberapa dari buku itu memuat inspirasi bagi si pembaca. Pernyataan bahwa hanya dengan pertolongan Tuhanlah seseorang dapat mengatasi semua masalah hidup kedengarannya sangatlah meyakinkan – sampai akhirnya kita selami lebih dalam.
Kalau klaim di atas benar, kita akan siap untuk melihat bahwa orang-orang yang tidak beragama Kristen hidup dalam kesulitan emosional, kebingungan dan keputus-asaan, sedangkan semua orang Kristen yang percaya pada Tuhan akan selalu sukses mengatasi semua kendala tanpa perlu bantuan dari dokter jiwa atau konsultasi. Akan tetapi kenyataan yang tidak bisa dihindari bahwa pemeluk-pemeluk agama-agama lain, bahkan orang-orang yang tidak mempunyai agama sama sekali juga bisa hidup dengan tabah dan mampu mengatasi kesulitan-kesulitan hidup seperti halnya orang Kristen. Bahkan banyak dari orang non-Kristen itu yang lebih mampu melewati masalah-masalah hidup dengan lebih baik daripada orang Kristen. Juga sering kita temui orang-orang Kristen yang kehilangan kepercayaannya kepada Tuhan setelah terkena begitu banyak persoalan pribadi yang serius. Sehingga kita bisa berkesimpulan bahwa kepercayaan kepada Tuhan merupakan suatu hal yang penting, adalah hal yang tidak punya dasar sama sekali.

Argumen “Setelah Mencoba Lalu Menyangkal Diri Sendiri”
Ketika orang-orang Kristen tidak bisa membuktikan keberadaan Tuhan dengan bukti-bukti lemah yang meragukan, mereka akan merubah taktik mereka dan berkata, “Mungkin memang tidak bisa dibuktikan bahwa Tuhan itu ada. Tapi anda juga tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada.” Tentu saja pernyataan ini benar adanya. Anda tidak bisa membuktikan keberadaan tuhan-tuhan dari banyak agama lain juga. Dalam kata lain, meskipun telah banyak omong besar, pernyataan yang penuh keyakinan, klaim-klaim luar biasa, tetap saja tidak ada bukti nyata bahwa Tuhan orang Kristen itu ada, maupun tuhan-tuhan dari agama lain.

Pengakuan Yang Dibuat
Setelah semuanya gagal, orang-orang Kristen akhirnya akan mencoba untuk meyakinkah kita bahwa Tuhan itu ada dengan pernyataan-pernyataan yang mengharukan. Orang-orang yang menyatakan dengan penuh haru tersebut akan berkata, “Saya dulunya sangat tidak bahagia, tapi setelah saya menyerahkan hidup saya ke tangan Tuhan, hidup saya menjadi bahagia dan penuh ketenangan.” Pengakuan-pengakuan seperti ini sangatlah menyentuh hati, tapi apa yang pengakuan-pengakuan itu bisa di buktikan? Jutaan orang non-Kristen hidup dalam kehidupan yang bahagia dan berarti setelah mereka menjalankan ajaran agama Buddha, Hindu atau Islam. Bahkan pula, tidak bisa disangkal bahwa banyak orang yang hidupnya tidak berubah lebih baik sedikitpun meskipun mereka menjadi Kristen, begitupula dengan hidup yang tidak lebih baik bagi beberapa orang-orang yang menganut agama lain. Pada akhirnya, pendapat atau argumen ini tetap tidak membuktikan keberadaan Tuhan orang Kristen.
============================================================
Bab III
Mengapa Tuhan Tidak Mungkin Ada
Kita telah melihat bahwa argumen-argumen yang digunakan untuk membuktikan keberadaan Tuhan itu tidaklah pantas. Sekarang kita akan menunjukkan bahwa Tuhan yang Maha Tahu, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Kuasa seperti yang dimiliki oleh orang Kristen itu tidak mungkin ada.

Problema Kebebasan Kehendak
Untuk menghidupi kehidupan beragama yang berarti, kita harus memiliki kebebasan kehendak, kita harus bisa memilih yang baik dan yang buruk. Kalau kita tidak memiliki kebebasan kehendak, kita tidak dapat bertanggungjawab atas kelakuan kita sendiri.
Menurut orang-orang Kristen, Tuhan itu Maha Tahu. Dia tahu masa yang lampau, masa sekarang, dan semua di masa yang akan datang. Kalau benar demikian, maka Tuhan pasti sudah tahu semua yang kita mau kerjakan jauh sebelum kita perbuat. Ini berarti seluruh hidup kita sudah di tentukan sebelumnya, dan kita bertindak bukanlah atas dasar kebebasan kehendak, tetapi kita telah ditentukan untuk berbuat apa yang kita perbuat. Kalau kita sebelumnya sudah ditentukan untuk menjadi orang baik, maka kita akan menjadi baik, dan bila kita sebelumnya ditentukan untuk menjadi buruk, maka kita akan menjadi orang buruk/jahat. Kita tidak akan berbuat atas dasar kebebasan kehendak kita, akan tetapi kita berbuat atas dasar apa yang telah Tuhan tentukan. Meskipun orang Kristen tetap memaksakan bahwa adanya kebebasan kehendak, ke-Maha Tahu-an Tuhan justru membuat hal ini mustahil untuk dimengerti. Injil (Alkitab) pun menyatakan bahwa orang hanya akan berbuat apa yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Kalau orang berbuat jahat, ini dikarenakan Tuhan telah memilih mereka untuk berbuat jahat (Roma 1:24-28) dan Tuhan pulalah yang membuat mereka untuk tidak menuruti perintahNya (Roma 11:32). Kalau mereka tidak mengerti firman-firman Tuhan, itu dikarenakan Tuhan telah membuat otak mereka tumpul dan bodoh (Roma 11:8) dan menyebabkan mereka untuk membandel (Roma 9:18). Tuhan mencegah penyebaran ajaran Nasrani di beberapa tempat (Kisah Para Rasul 16:6-7) dan Dia menentukan segala sesuatu jauh hari sebelum semuanya terjadi, kapan seorang itu akan dilahirkan, kapan orang itu akan mati. (Kisah Para Rasul 17:26). Mereka yang akan diselamatkan telah terpilih sebelum asal mulanya waktu.(2 Timotius 1:9; Efesus1 ayat 11). Jika seorang mempunyai keyakinan dan kemudian diselamatkan, keyakinan itu berasal dari Tuhan, bukan dari usaha mereka sendiri (Efesus 2:9-10). Salah satu dari kita akan bertanya,”Kalau Tuhan telah secara sebelumnya menentukan apa yang kita lakukan. Bagaimana mungkin Tuhan menjatuhkan tanggungjawab tindakan kita ke atas diri kita sendiri?” Tetapi Alkitab mempunyai jawaban untuk pertanyaan ini.
“Sekarang kamu akan berkata kepadaku: “Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkan-Nya? Sebab siapa yang menentang kehendak-Nya?” Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: “Mengapakah engkau membentuk aku demikian?” Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa? Jadi kalau untuk menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang disiapkan untuk kebinasaan.” (Roma 9:19-22)
Jadi ternyata di dalam ajaran Kristiani, jalan hidup seseorang dan takdir adalah sepenuhnya ulah Tuhan. Dan sebagai manusia kita tidak punya hak untuk mengeluh tentang apa yang telah Tuhan putuskan untuk kita. Ide di mana semuanya telah ditentukan dengan ide bahwa Tuhan itu Maha Tahu memang tampak sejalan, tetapi ide tersebut tidak masuk akal ke dalam konsep usaha untuk berbuat kebaikan atau menghindari kejahatan.

Problema Tentang Kejahatan
Mungkin argumen yang paling kuat untuk menangkis keberadaan Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Tahu adalah kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwa dunia ini terlalu banyak penderitaan. Kalau Tuhan yang penuh cinta itu benar-benar Maha Kuasa, mengapa Dia tidak membinasakan semua kejahatan dan iblis? Orang-orang Kristen akan mencoba untuk menjawab pertanyaan ini dengan berbagai cara.
Yang pertama, mereka akan mengatakan bahwa kejahatan itu disebabkan oleh manusia, bukan oleh Tuhan. Dan jika saja manusia mau mengikuti firman-firman Tuhan, maka tidak mungkin akan ada yang menderita kesakitan ataupun kejahatan. Meskipun memang benar jika kejahatan seperti perang, pemerkosaan, pembunuhan dan eksploitasi dapat disalahkan kepada makhluk manusia, akan tetapi manusia tidak mungkin bisa disalahkan akan jutaan nyawa yang melayang setiap tahun yang disebabkan oleh gempa bumi, banjir, penyakit menular, dan bencana alam yang mana adalah kejadian alam. Bahkan kenyataannya, menurut Alkitab, kuman-kuman yang menyebabkan penyakit yang mengerikan seperti TBC, polio, kolera, lepra, dan semua kesedihan, kecacatan dan penderitaan yang ditimbulkan telah diciptakan Tuhan sebelum Tuhan menciptakan manusia. (Kejadian 1:11-12) (Catatan dari penterjemah: Lihat juga Kejadian 1:24)
Cara lain yang orang-orang Kristen akan coba terangkan tentang kejahatan adalah semua kejahatan yang menimbulkan penderitaan itu adalah hukuman Tuhan atas dosa manusia yang tidak mau mengikuti perintah-perintahNya. Ini berarti semua hal-hal buruk hanya terjadi kepada orang-orang yang jahat. Tentu saja ini tidak benar! Kita sering mendengar banyak wabah penyakit yang parah atau bencana menimpa orang-orang baik, termasuk orang Kristen yang taat. Begitu juga kita sering sekali mendengar bahwa banyak orang-orang jahat yang sering mendapatkan keberuntungan dan keberhasilan. Maka tidak mungkin bisa dikatakan bahwa kejahatan dan penderitaan yang ditimpakan adalah cara Tuhan menghukum manusia yang berdosa.
Selanjutnya, orang-orang Kristen akan mengatakan bahwa Tuhan membiarkan kejahatan untuk muncul di dunia karena dia mau memberikan kebebasan kepada semua orang untuk memilih antara kebaikan atau kejahatan. Bagi yang memilih kebaikan, akan terselamatkan. Maka mereka akan berdalih, kejahatan itu diciptakan untuk mencoba umat manusia. Dalam pandangan sekilas, pernyataan di atas terlihat cukup masuk akal. Jika seseorang (katakan si A) melihat orang lain yang dipukuli oleh orang jahat, A mempunyai pilihan untuk membiarkan kejadian pemukulan itu terjadi (A berbuat kejahatan) atau memutuskan untuk menolong si korban pemukulan (A berbuat kebaikan). Jika A bersedia menolong si korban, maka A telah melewati pencobaan itu dengan melakukan perbuatan baik. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Tuhan yang Maha Tahu sudah tahu perbuatan apa yang A akan pilih (baik atau buruk), untuk apa lagi Tuhan menguji A atau kita semua? Dan juga, jika penderitaan dan kejahatan diciptakan untuk menguji kita manusia, tidak bisakah Tuhan yang Maha lembut dan Pengasih memikirkan cara yang lebih lembut dan yang tidak begitu menyakitkan? Mengapa Tuhan yang Maha Adil dan Penyayang tega menimbulkan penderitaan kepada seseorang hanya untuk menguji kebaikan atau keburukan orang lain?
Beberapa orang Kristen akan berusaha membebaskan Tuhan dari kesalahan karena menciptakan kejahatan dengan mengatakan kejahatan itu tidak diciptakan oleh Tuhan, melainkan diciptakan oleh Iblis. Pernyataan ini mungkin saja benar, tetapi jika Tuhan begitu Maha Pengasih dan Penyayang, mengapa Tuhan tidak mencegah Iblis menyebarkan kejahatan? Perlu juga diketahui, siapa yang menciptakan Iblis? Tentu saja Tuhanlah yang menciptakan Iblis. (Catatan dari penterjemah: Pernah diceritakan bahwa Iblis adalah bekas malaikat di surga yang melawan perintah Allah, sehingga dibuang dari surga, ke manakah Iblis di buang? Hanya ada 2 tempat, neraka dan bumi. Kalau Tuhan Maha Sempurna, mengapa Tuhan bisa menciptakan malaikat yang membelot? Kalau Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, mengapa Tuhan membiarkan Iblis berkeliaran di dunia – yang notabene adalah tempat hidup ciptaanNya yang paling Dia kasihi? Kalau Tuhan Maha Kuat, mengapa Iblis itu tidak dimusnahkan saja? Dan hanya dibuang? Sangatlah tidak masuk akal, Tuhan akhirnya harus mengutus anakNya untuk mati dan menebus dosa manusia akibat ulah iblis yang Dia biarkan berkeliaran di dunia.)
Sampai ke tahap seperti ini, orang-orang Kristen akan merasa putus asa dengan mencoba berpindah dari argumen logika ke argumen fungsi/pragmatik. Orang Kristen tersebut dalam upaya terakhirnya akan mengatakan meskipun penderitaan itu ada di dunia ini, kita bisa menggunakan penderitaan itu untuk membangkitkan keteguhan hati dan kesabaran. Pernyataan ini memang benar, tetapi tetap saja pernyataan ini tidak bisa menjelaskan mengapa Tuhan yang Maha Pengasih dan Pencinta membiarkan banyak bayi tak berdosa untuk mati, pemakai jalan yang tak bersalah untuk tertabrak mati dalam kecelakaan, dan penderita penyakit kusta untuk menderita kesakitan dan cacat? Kenyataan yang ada adalah, telah muncul terlalu banyak penderitaan yang tidak perlu ada. Semua penderitaan yang ada di dunia (penyakit, bencana alam, bayi yang meninggal, kelaparan berkepanjangan) membuktikan sekali lagi bahwa Tuhan yang Maha Pengasih, Penyayang, Adil, Sempurna itu tidak pernah ada.

Untuk Apa Mencipta? Apa Tujuan Dari Penciptaan?
Orang-orang Kristen mengklaim bahwa Tuhan itu Maha Sempurna, dan Dia itu Sempurna dalam segala hal. Tapi, jika Tuhan memang benar Sang Pencipta, pernyataan di bawah akan membuktikan bahwa Tuhan itu tidak sempurna. Marilah kita lihat dan buktikan bersama.
Sebelum Tuhan menciptakan alam semesta ini, yang ada hanyalah kekosongan dan kehampaan – tidak ada matahari, tidak ada bumi, tidak ada orang, tidak ada kebaikan maupun kejahatan, tidak ada penderitaan. Yang ada hanyalah Tuhan yang Maha Sempurna di mata orang Kristen. Jadi, jika Tuhan itu sempurna dan hanya ada kesempurnaan sebelum diciptakannnya alam semesta, apa gerangan yang menggerakkan Tuhan untuk menciptakan alam semesta dan ketidaksempurnaan ke dalam seluruh ciptaanNya? Apakah karena Tuhan itu bosan dan tidak punya kerjaan? Apakah karena Tuhan merasa kesepian dan ingin didoakan dan dipuja?
Menurut orang-orang Kristen, Tuhan menciptakan semuanya karena cintaNya yang besar kepada manusia. Tapi ini adalah mustahil! Tuhan tidak mungkin bisa mencintai manusia sebelum manusia itu tercipta. Sama halnya seorang wanita tidak mungkin bisa mencintai anaknya jika wanita itu tidak mengandung dan melahirkan anaknya. Keinginan dan kebutuhan Tuhan untuk mencipta telah menjelaskan bahwa Tuhan sangat tidak puas dengan segala sesuatu sebelum penciptaan. Ketidakpuasan Tuhan itu telah membuktikan bahwa Tuhan itu tidak sempurna (kalau Tuhan ada). Orang-orang Kristen mungkin akan mengatakan Tuhan menciptakan secara spontan tanpa keinginan ataupun kebutuhan untuk mencipta. Pernyataan seperti ini hanyalah membuktikan bahwa penciptaan alam semesta ini sama sekali tidak ada tujuannya, dan tidak ada rencana dibalik penciptaan alam semesta ini. Tuhan macam apa yang menciptakan segala sesuatu tanpa perencanaan dan tujuan? Tentu saja bukan Tuhan yang Maha Pengasih dan Pencipta.

Problema Tuhan Yang Tak Terlihat
Orang-orang Kristen selalu mengklaim bahwa Tuhan menginginkan kita untuk percaya kepadaNya sehingga kita bisa terselamatkan. Kalau Tuhan mau kita percaya, mengapa Tuhan tidak membuat mukjizat sehingga bisa terlihat oleh semua orang supaya semua orang bisa percaya? Mungkin orang Kristen akan menjawab, Tuhan ingin kita percaya dengan iman, bukan dengan pandangan mata. Tetapi Alkitab sendiri mengatakan bahwa di masa yang lampau Tuhan melakukan mukjizat yang paling luar biasa dan sering kali memunculkan diriNya di dalam kehidupan manusia dengan tujuan supaya manusia bisa melihat dan percaya kepadaNya. Kalau Tuhan menampakkan diriNya atau mukjizatNya di masa lampau, mengapa Tuhan tidak menampakkan diriNya atau mukjizatNya di masa kini? (Catatan dari penterjemah: Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan begitu banyaknya pertentangan antara ilmu pengetahuan dan isi Alkitab, maka sudah lebih masuk akal bila Tuhan lebih memperlihatkan diriNya dan melakukan mukjizat di jaman sekarang. Tapi mukjizat dan diriNya tidak pernah muncul. Ini membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada sama sekali.)
Orang-orang Kristen akan berkata bahwa Tuhan melakukan mukjizat dan keajaiban di masa sekarang, misalnya dengan penyembuhan, membantu memecahkan masalah pribadi, dan sebagainya. Tapi manusia yang bandel dan jahat menolak untuk percaya. Sedangkan keajaiban-keajaiban yang dikumandangkan itu bersifat kecil dan pribadi, sehingga lebih menimbulkan keraguan daripada kepercayaan. Kalau Tuhan melakukan mukjizat yang luar biasa dan luas, manusia mau tidak mau harus percaya. Tapi mukjizat itu tidak pernah ada. Bahkan menurut Alkitab, orang-orang Israel berkelana di gurun pasir selama 40 tahun lamanya, dan Tuhan memberi mereka makan dengan menjatuhkan makanan dari langit (Keluaran 16:4). Di tahun 1980-an, jutaan umat Kristen di Ethiopia mati secara perlahan-lahan karena kemarau yang panjang. Tuhan mempunyai kesempatan emas untuk kembali menjatuhkan makanan dari langit, seperti yang diutarakan di Alkitab, untuk membuktikan keberadaan diriNya dan membuktikan cintaNya yang besar kepada manusia. Orang-orang Buddha akan mengatakan bahwa Tuhan tidak ada sama sekali.
============================================================
Bab IV
Tuhan Atau Buddha, Siapa Yang Paling Tinggi?
Orang-orang Kristen memandang Tuhan sebagai pencipta dan penguasa. Sedangkan umat Buddha memandang Buddha sebagai panutan dan teladan untuk dicontoh. Meskipun umat Kristen belum pernah melihat Tuhan, mereka mengklaim bahwa mereka mengenal Tuhan melalui percakapan mereka dengan Tuhan lewat doa dan lewat perasaan bahwa Tuhan itu hadir. Umat Kristen juga mengklaim mereka bisa mengetahui kehendak Tuhan dengan membaca firman-firmanNya yang tercantum di Alkitab.
Orang Buddhis tidak berdoa kepada ataupun mengakui adanya Tuhan. Satu-satunya cara orang Buddhis mendengar faham ketuhanan adalah melalui Alkitab. Akan tetapi kalau orang-orang Buddhis membaca Alkitab tentang Tuhan, mereka seringkali terkejut. Mengapa terkejut? Karena Tuhan yang tercantum di Alkitab sangat berbeda dengan Tuhan yang disebut-sebut oleh orang Kristen.
Umat Buddha menolak faham ketuhanan yang ditawarkan oleh orang Kristen karena faham itu tidak masuk akal dan tidak bisa ada buktinya. Faham itu ditolak oleh umat Buddhis juga karena Tuhan yang mereka baca melalui Alkitab dan yang mereka dengar melalu orang Kristen itu terlihat lebih rendah daripada panutan dan teladan mereka, Sang Buddha. Kita akan membuktikan secara tuntas Tuhan yang tercantum di dalam Alkitab, dan membandingkan Tuhan orang Kristen dengan apa yang dicantumkan oleh Tipitaka (Kitab suci umat Buddha) tentang Sang Buddha. Pembuktian ini akan menunjukkan secara nyata dan jelas, tanpa keragu-raguan, superioritas moral Sang Buddha.

Perbandingan Rupa
Tuhan itu rupanya seperti apa? Dalam Alkitab tertulis bahwa Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan rupa Tuhan (Kejadian 1:26) oleh karena itu kita bisa mengasumsi bahwa rupa Tuhan adalah seperti manusia. Tertulis pula di Alkitab bahwa Tuhan mempunyai tangan (Keluaran 15:12), lengan (Ulangan 11:2), jari (Mazmur 8:4) dan wajah (Ulangan 13:17). Dia tidak suka manusia melihat wajahNya, akan tetapi dia tidak keberatan jika manusia melihat punggungNya.
“Kemudian Aku akan menarik tangan-Ku dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi wajah-Ku tidak akan kelihatan.” (Keluaran 33:23)
Akan tetapi meskipun Tuhan kelihatannya mempunyai rupa manusia, pada beberapa kesempatan, Tuhan sering terlihat tidak berbeda dengan rupa buruk dari patung-patung yang sering kita lihat di pintu masuk kelenteng Chinese maupun India. Contohnya, api keluar dari badan Tuhan.
“Api menjalar di hadapan-Nya, dan menghaguskan para lawan-Nya sekeliling” (Mazmur 97:3) “Allah kita datang dan tidak akan berdiam diri, di hadapan-Nya api menjilat, sekeliling-Nya bertiup badai yang dahsyat.” (Mazmur 50:3)
“Pada suatu kali bangsa itu bersungut-sungut di hadapan TUHAN tentang nasib buruk mereka, dan ketika TUHAN mendengarnya bangkitlah murka-Nya, kemudian menyalalah api TUHAN di antara mereka dan merajalela di tepi tempat perkemahan.” (Bilangan11:1)
Ketika Tuhan marah yang mana tampaknya dia seringkali marah, asap dan api keluar dari tubuhNya.
“Ketika aku dalam kesesakan, aku berseru kepada TUHAN, kepada Allahku aku berteriak minta tolong. Ia mendengar suaraku dari bait-Nya, teriakku minta tolong kepada-Nya sampai ke telinga-Nya. Lalu goyang dan guncanglah bumi, dan dasar-dasar gunung gemetar dan goyang, oleh karena menyala-nyala murkanya. Asap membumbung dari hidung-Nya, api menjilat keluar dari mulut-Nya, bara menyala keluar dari pada-Nya.” (Mazmur 18:7-9)
Ketika Nabi Yehezkiel melihat Tuhan yang disertai oleh malaikat disampingNya, dia menggambarkan mereka terlihat seperti yang tertulis di bawah ini (Yehezkiel 1:4-21)
“Lalu aku melihat, sunggu, angin badai bertiup dari utara, dan membawa segumpal awan yang besar dengan api yang berkilat-kilat dan awan itu dikelilingi oleh sinar; di dalam, ditengah-tengah api itu kelihatan seperti suasa mengkilat. Dan di tengah-tengah itu juga ada yang menyerupai empat makhluk hidup dan beginilah kelihatannya mereka: mereka menyerupai manusia, tetapi masing-masing mempunyai empat muka dan pada masing-masing ada pula empat sayap. Kaki mereka adalah lurus dan telapak kaki mereka seperti kuku anak lembu; kaki-kaki ini mengkilap seperti tembaga yang baru. Pada keempat sisi mereka di bawah sayap-sayapnya tampak tangan manusia. Mengenai muka dan sayap mereka berempat adalah begini: mereka saling menyentuh dengan sayapnya; mereka tidak berbalik kalau berjalan, masing-masing berjalan lurus ke depan. Muka mereka kelihatan begini: Keempatnya mempunyai muka manusia di depan, muka singa di sebelah kanan, muka lembu di sebelah kiri, dan muka rajawali di belakang. Sayap-sayap mereka dikembangkan ke atas; mereka saling menyentuh dengan sepasang sayapnya dan sepasang sayap yang lain menutupi badan mereka. Masing-masing berjalan lurus ke depan; ke arah mana roh itu hendak pergi, ke sanalah mereka pergi, mereka tidak berbalik kalau berjalan. Ditengah makhluk-makhluk hidup itu kelihatan seperti bara api yang menyala, seperti suluh, yang bergerak kian kemari di antara makhluk-makhluk hidup itu, dan api itu bersinar sedang dari api itu kilat sabung-menyabung. Makhluk-makhluk hidup itu terbang ke sana ke mari seperti kilat. Aku melihat, sungguh, di atas tanah di samping masing-masing dari keempat makhluk-makhluk hidup itu ada sebuah roda. Rupa roda-roda itu seperti kilauan permata pirus dan keempatnya adalah serupa; buatannya seolah-olah roda yang satu di tengah-tengah yang lain. Kalau mereka berjalan mereka dapat menuju keempat jurusan; mereka tidak berbalik kalau berjalan. Mereka mempunyai lingkar dan aku melihat, bahwa sekeliling lingkar yang empat itu penuh dengan mata. Kalau makhluk-makhluk hidup itu berjalan  kalau makhluk-makhluk hidup itu terangkat dari atas tanah, roda-roda itu turut terangkat. Ke arah mana roh itu hendak pergi, ke sanalah mereka pergi, dan roda-rodanya sama-sama terangkat dengan mereka, sebab roh makhluk-makhluk hidup itu berada di dalam roda-rodanya. Kalau makhluk-makhluk hidup itu berjalan, roda-roda itu berjalan; kalau mereka berhenti, roda-roda itu berhenti; dan kalau mereka terangkat dari tanah, roda-roda itu sama-sama terangkat dengan mereka; sebab roh-roh makhluk-makhluk hidup itu berada di dalam roda-rodanya.”
Umat Kristen seringkali melihat rupa dewa-dewa yang berwajah dan bertangan banyak di kelenteng Taois dan pura Hindu, dan mencibir bahwa dewa-dewa itu lebih menyerupai iblis dan setan daripada menyerupai dewa. Tapi ternyata apa yang tertulis di Alkitab tentang rupa Tuhan ternyata mirip dengan rupa dewa-dewa Hindu dan Taois. Lebih lanjut, dewa-dewa atau tuhan-tuhan ajaran Hindu dan Taois membawa senjata, demikian juga halnya Tuhan orang Kristen juga menghunus senjata.
“Pada waktu itu TUHAN akan melaksanakan hukuman dengan pedang-Nya yang keras, besar dan kuat”(Yesaya 27:1)
“Matahari, bulan berhenti di tempat kediamannya, karena cahaya anak-anak panah-Mu yang melayang laju, karena kilauan tombak-Mu yang berkilat. Dalam kegeraman Engkau melangkah melintasi bumi, dalam murka Engkau menggasak bangsa-bangsa” (Habakuk 3:11-12)
“Karena sinar di hadapan-Nya hilanglah awan-awan-Nya bersama hujan es dan bara api. Maka TUHAN mengguntur di langit, Yang Mahatinggi memperdengarkan suara-Nya. Dilepaskan-Nya panah-panah-Nya, sehingga diserakkan-Nya mereka, kilat bertubi-tubi, sehingga dikacaukan-Nya mereka.” (Mazmur 18:13-15)
“Tetapi Allah menembak mereka dengan panah; sekonyong-konyong mereka terluka.” (Mazmur 64:8)
“TUHAN akan menampakkan diri kepada mereka, dan anak panah-Nya akan melayang keluar seperti kilat. Dan TUHAN Allah akan meniup sangkakala dan akan berjalan maju dalam angin badai dari selatan.” (Zakaria 9:14)
Satu cara yang menarik untuk menyimak rupa Tuhan orang Kristen adalah dengan melihat adanya kemiripan cara Tuhan orang Kristen bergerak dengan cara dewa-dewa non-Kristen berpindah tempat. Alkitab menyatakan bahwa Tuhan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cara duduk di atas awan (Yesaya 19:1) atau membonceng di punggung malaikat (Mazmur 18:10). Sangatlah jelas sekali bahwa dari kutipan-kutipan Alkitab bahwa Tuhan mempunyai penampilan yang mengerikan dan ganas.
“Beribadahlah kepada TUHAN dengan takut dan ciumlah kaki-Nya dengan gemetar” (Mazmur 2:11) “Itulah sebabnya hatiku gemetar menghadapi Dia, kalau semuanya itu kubayangkan, maka aku ketakutan terhadap Dia.” (Ayub 23:15)
Yesus seringkali berkata bahwa kita harus takut akan Tuhan (misalnya yang tercantum di Lk 12:4-5). Alkitab juga telah dengan sangat akurat menunjukkan bahwa dimana ada ketakutan, di situ tidak akan ada cinta dan kasih sayang (1 Yohanes 4:18) dan jadi jika Tuhan menciptakan ketakutan dalam diri semua orang, bagaimana mungkin orang-orang yang ditakuti itu bisa mencintai Tuhan?
Lalu bagaimana dengan rupa Buddha? Menjadi seorang manusia, Sang Buddha memiliki tubuh seorang manusia biasa. Akan tetapi Tipitaka seringkali menunjukkan keindahan wujud Sang Buddha yang luar biasa.
Dia (Sang Buddha) tampan, rupawan, sedap untuk dipandang, memiliki rona wajah yang paling indah, wujud dan air mukaNya seperti wujud dan air muka seorang Brahma, wujudNya sangatlah indah. (Digha Nikaya, Sutta No.4)
Dia tampan, menginspirasikan keyakinan, dengan indera-indera yang kalem dan pikiran yang tenang, sabar, seperti seekor gajah yang dijinakkan secara sempurna (Anguttara Nikaya, Sutta No.36)
Setiap kali orang melihat Sang Buddha, penampilanNya yang kalem dan tenang mengisi hati mereka dengan kedamaian, dan senyuman lembut Sang Buddha meyakinkan kedamaian itu. Seperti yang telah kita ulas dan lihat bersama, suara Tuhan itu keras dan menakutkan seperti petir (Mazmur 68:33) sedangkan suara Buddha itu lembut dan menenangkan hati.
Ketika berada di dalam biara, Sang Buddha mengajarkan Dhamma. Beliau (Sang Buddha) tidak mengagungkan ataupun menghina dewan majelis biara itu. Bahkan, Sang Buddha menerangkan, mengangkat (memajukan pikiran), menginspirasi dan membuat senang dewan majelis dengan pembicaraan Dhamma. Bunyi dari suara Gautama yang baik mempunyai 8 karakteristik; jelas dan dapat dimengerti, manis dan dapat didengar, fasih dan jelas, dalam dan bergema (Majjhima Nikaya, Sutta No. 19)
Tuhan orang Kristen membawa senjata karena dia harus membunuh musuh-musuhNya dan karena dia mengatur tindakan manusia dengan kekerasan dan ancaman. Sang Buddha, di sisi yang lain, tidak menunjukkan permusuhan dan kebencian kepada siapapun. Sang Buddha juga dapat mengatur tindakan orang dengan memberikan paham yang masuk akal. Raja Pasenadi menceritakan kisah tentang Sang Buddha:
Saya (Raja Pasenadi) seorang raja, dapat menghukum mereka yang patut dihukum, mendenda mereka yang patut didenda, atau mengasingkan mereka yang patut diasingkan. Tetapi ketika saya duduk di meja pengadilan orang-orang seringkali mengusik, dan usikan itu bahkan mengganggu saya. Saya tidak bisa mendapatkan kesempatan sekalipun untuk berkata: “Jangan mengusik saya! Tunggu sampai saya selesai berbicara.” Tetapi ketika Tuan sedang mengajarkan Dhamma, tidak ada satu suara batukpun yang keluar dari dewan majelis. Suatu ketika, ketika saya duduk mendengarkan Tuan mengajarkan Dhamma, salah satu murid terbatuk dan salah satu temannya menepuk lututnya dan berkata,”Janganlah ribut, tuan, jangan keluarkan suara. Tuan kita sedang mengajarkan Dhamma”, dan saya berpikir dalam diri saya, memang benar sangatlah memukau, dan hebat murid-murid yang terlatih baik tanpa harus menggunakan tongkat pemukul ataupun pedang. (Majjhima Nikaya, Sutta No.89)
Dapat kita bayangkan bagaimana Tuhan orang Kristen akan bereaksi jika ada seorang yang mengganggu ketika Tuhan sedang berbicara. Kita bisa melihat dari apa yang telah tertulis di atas bahwa rupa dan penampilan Sang Buddha mencerminkan ketenangan dalam hati yang sangat dalam (tenang) dan belas kasihan. Semua orang selalu terinspirasi oleh pancaran damai yang mengelilingi Sang Buddha.

Rancangan Mental
Seringkali kita lihat bahwa orang-orang Buddhis tidak percaya kepada Tuhan karena bagi mereka, ide adanya Tuhan itu tidak masuk akal dan berlawanan dengan kenyataan yang ada. Orang Buddha juga menolak Tuhan orang Kristen karena, kalau Alkitab itu benar adanya, Tuhan Kristen itu sangat tidak sempurna. Semua jenis emosi yang negatif, yang mana orang-orang beradab pada umumnya akan menganggap emosi semacam ini tidak bisa diterima, justru ditemukan di dalam diri Tuhan. Marilah kita perhatikan bagaimana Alkitab menerangkan isi pikiran Tuhan.
Jenis emosi atau perasaan yang paling sering diutarakan melebihi perasaan yang lain adalah kedengkian. Bahkan Tuhan sendiri pun mengakui bahwa dia itu pencemburu.
“Sebab TUHAN, Allahmu, adalah api yang menghanguskan, Allah yang cemburu” (Ulangan 4:24)
Tidak ada yang membuat Tuhan lebih cemburu daripada melihat orang-orang menyembah tuhan lain, dan Tuhan sendiri berkata bahwa kita bahkan harus membunuh anak kita sendiri jika anak kita menyembah tuhan lain. (Catatan dari penterjemah: Bacalah juga kitab Ulangan 13:6-9. Tampaknya ayat-ayat seperti ini telah mengilhami banyaknya perang di antara umat beragama di Indonesia contohnya: di Ambon).

Di dalam Alkitab juga berisi bahwa Tuhan seringkali kehilangan kesabaranNya.
“Sungguh, hari TUHAN datang dengan kebengisan, dengan gemas dan dengan murka yang menyala-nyala, untuk membuat bumi menjadi sunyi sepi dan untuk memusnahkan daripadanya orang-orang yang berdosa.” (Yesaya 13:9)
“Perisai bagiku adalah Allah, yang menyelamatkan orang yang tulus hati; Allah adalah Hakim yang adil dan Allah yang murka setiap saat.” (Mazmur 7:11)
“Dan Tuhan akan memperdengarkan suara-Nya yang mulia, akan memperlihatkan tangan-Nya yang turun menimpa dengan murka yang hebat dan nyala api yang memakan habis, dengan hujan lebat, angin ribut dan hujan batu.” (Yesaya 30:30)
“Sebab Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu di tengah-tengahmu, supaya jangan bangkit murka TUHAN, Allahmu, terhadap engkau, sehingga ia memunahkan engkau dari muka bumi.” (Ulangan 6:15)
Tuhan menganjurkan kita untuk saling mengasihi akan tetapi dia sendiri digambarkan sebagai pembenci dan penuh dengan kebencian.
“Sebab Engkau bukanlah Allah yang berkenan kepada kefasikan; orang jahat takkan menumpang pada-Mu. Pembual tidak akan tahan di depan mata-Mu; Engkau membenci semua orang yang melakukan kejahatan.” (Mazmur 5:5-6)
Lebih jauh, Tuhan digambarkan sebagai pembenci dari banyak hal yang lain dan juga pembenci manusia. (Lihat Ulangan 16:22, Maleakhi 2:16, Imamat 26:30). Tuhan mempunyai kebencian khusus kepada agama-agama lain, yang mungkin menjelaskan kepada kita mengapa agama Kristen sering dikenal sebagai agama yang tidak toleran. Tuhan juga sering diutarakan mempunyai kebencian khusus terhadap mereka yang tidak memujaNya.
“Perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap, aku benci melihatnya;semuanya itu menjadi beban bagi-Ku, Aku telah payah menanggungnya.” (Yesaya1:14)
Sang Buddha memiliki belas kasihan kepada mereka yang kejam, memaafkan mereka yang berbuat salah, dan memberikan hormat kepada agama-agama lain. Kita bisa mengharapkan Tuhan, yang bisa merasa dengki dan benci, untuk penuh dengan dendam, dan sangatlah sering Alkitab menjelaskan kedendaman Tuhan.
“Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: “Kuatkan hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!” (Yesaya 35:4)
“Tuhan itu Allah yang cemburu dan pembalas, Tuhan itu pembalas dan penuh kehangatan amarah. Tuhan itu pembalas kepada para lawan-Nya dan pendendam kepada para musuh-Nya.” (Nahum 1:2)
Kita juga tahu bahwa Tuhan pernah berkata “Sebab kita mengenal Dia yang berkata: “Pembalasan adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan.” Dan lagi: “Tuhan akan menghakimi umat-Nya.” Ngeri benar, kalau jatuh ke dalam tangan Allah yang hidup.” (Ibrani 10:30-31). (Lihat juga Roma 1:18, 2:5-6, 12:19)
Untuk apa orang menyembah Tuhan yang penuh dengan kekotoran bathin, yang mana kita sendiri juga sedang berusaha untuk mengatasi?
Selama empat puluh tahun setelah mencapai penerangan sempurna, Buddha menganjurkan orang untuk menghindari rasa marah, iri hati dan sifat tidak toleran. Sang Buddha mempraktekan secara sempurna apa yang beliau ajaran kepada orang lain.
“Sang Guru bertindak sesuai dengan apa yang beliau ucapkan, dan mengucapkan sesuai dengan apa yang dia lakukan. Kita tidak menemukan guru lain selain Sang Buddha, yang bisa secara konsisten seperti beliau, meskipun telah kita cari di (catatan penterjemah: guru-guru) dari masa lampau maupun masa sekarang.” (Digha Nikaya, Sutta No.19)
Di dalam seluruh isi Tipitaka, tidak pernah ada satu pun yang tertera Buddha mengeluarkan amarah, kebencian, kedengkian, dsb, karena dengan kesempurnaan beliau, beliau telah terbebas dari perasaan-perasaan negatif.

Sikap Terhadap Perang
Injil (Alkitab) memberitahu kita bahwa ada waktu untuk membenci, ada waktu untuk perang (Keluaran 13:8). Pada jaman sekarangpun, telah terbukti bahwa kejahatan-kejahatan itu (perang dan kebencian) bergantung satu sama lain. Seperti yang telah kita buktikan, Tuhan bisa membenci dan janganlah terkejut bila ternyata Tuhan sering terlibat dalam perperangan.
“TUHAN itu pahlawan perang; TUHAN, itulah nama-Nya” (Keluaran 15:3)
“TUHAN Allahmu ada di antaramu sebagai pahlawan yang memberi kemenangan. Ia bergirang karena engkau dengan sukacita, Ia membaharui engkau dalam kasih-Nya, Ia bersorak-sorak karena engkau dengan sorak-sorai” (Zefanya 3:17)
“TUHAN keluar berperang seperti pahlawan, seperti orang perang Ia membangkitakan semangat-Nya untuk bertempur; Ia bertempik sorak, ya, Ia memekik, terhadap musuh-musuh-Nya Ia membuktikan kepahlawanan-Nya.” (Yesaya 42:13)
“Apabila Aku mengasah pedang-Ku yang berkilat-kilat, dan tangan-Ku memegang penghukuman, maka Aku membalas dendam kepada lawan-Ku, dan mengadakan pembalasan kepada yang membenci Aku. Aku akan memabukkan anak panah-Ku dengan darah, dan pedang-Ku akan memakan daging: darah orang-orang yang mati tertikam dan orang-orang yang tertawan, dari kepala-kepala musuh yang berambut panjang.” (Ulangan 32:41-42)
Selama beberapa abad orang-orang Kristen telah terilhami oleh ayat-ayat Alkitab di atas, yang mendukung dan memuliakan perang, menggunakan kekerasan untuk menyebarkan agama mereka. Bahkan sampai hari inipun, banyak kita temui unsur-unsur militer di dalam agama Kristen. Organisasi Salvation Army (Laskar Keselamatan) memakai semboyan “Darah dan Api”; hymne yang mengumandangkan “Majulah laskar Kristen berjalan menuju perang”; ucapan seperti “Pujilah Tuhan dan serahkan amunisi (senjata)” dan lain-lain. Di dalam Alkitab juga berisi lusinan contoh di mana Tuhan membantu pengikutNya untuk menguasai kota-kota, membunuh penduduk dan mengalahkan laskar perang (misalnya Bilangan 21:1-3, Bilangan 31:1-2, Ulangan 3:3-7, Yosua 11:6-11, dll). (Catatan dari penterjemah: Kembali lagi kita diingatkan bahwa ayat-ayat di atas telah menggerakkan kekerasan. Bisa kita lihat sendiri dengan situasi kerusuhan di berbagai tempat di dunia, dan di negeri kita sendiri. Ambon adalah salah satu contoh paling nyata dan paling baru yang kita lihat sendiri.)
Mengenai tawanan perang, Tuhan berkata:  “Dan TUHAN, Allahmu, telah menyerahkan mereka kepadamu, sehingga engkau memukul mereka kalah, maka haruslah kamu menumpas mereka sama sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah engkau mengasihani mereka.” (Ulangan 7:2)
“Engkau harus melenyapkan segala bangsa yang diserahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu; janganlah engkau merasa sayang kepada mereka dan janganlah beribadah kepada allah mereka, sebab hal itu akan menjadi jerat bagimu.” (Ulangan 7:16)
Bahkan orang Kristen sering terkejut ketika mereka membaca ayat-ayat tersebut. Orang-orang Buddha justru merasa bahwa ayat-ayat tersebut mengukuhkan penolakan mereka terhadap Tuhan Kristen, dan keyakinan mereka dalam ajaran Sang Buddha.
Apa sikap Sang Buddha terhadap perang? Tidak ada satu contohpun di mana Sang Buddha menyetujui peperangan, mendukung peperangan, atau bahkan ikut berperang. Justru sebaliknya, Sang Buddha mengajak semua untuk hidup dalam kedamaian dan kerukunan, seperti yang diutarakan di pernyataan berikut:
“Sang Buddha adalah seorang pemersatu bagi mereka yang bermusuhan dan pendukung mereka yang telah bersatu, turut bergembira dalam damai, mencintai perdamaian, menyukai perdamaian, beliau adalah seorang yang memuji perdamaian” (Digha Nikaya, Sutta No.1)

Sang Buddha Menjadi Contoh Perdamaian
“Meninggalkan pembunuhan, bhikkhu Gautama hidup menghindari diri dari membunuh, beliau tidak menggunakan tongkat ataupun pedang, beliau hidup dengan penuh perhatian, belas kasihan dan simpati kepada yang lain“ (Digha Nikaya, Sutta No.1)
“Sang Buddha tidak hanya puas (Catatan dari penterjemah: puas dalam arti: Buddha lebih suka) Buddha dengan omongan dan ucapan tentang perdamaian. Buddha juga tidak puas kalau hanya diriNya yang hidup dalam damai. Beliau secara aktif mendukung kedamaian dengan berusaha menghentikan peperangan. Ketika saudara-saudaraNya hendak pergi perang untuk merebut bagian air sungai Rohini, Sang Buddha tidak memihak siapapun. Sang Buddha tidak mendukung saudara-saudaraNya untuk ikut perang, tidak membantu dalam taktik peperangan, atau tidak menyuruh saudara-saudaraNya untuk tidak memberi ampun kepada musuh,- berbeda dengan apa yang akan dilakukan Tuhan. Akan tetapi, Sang Buddha berdiri di antara kedua pihak dan berkata,”Mana yang lebih berharga? Darah atau air?” Para tentara menjawab,”Darah lebih berharga, Tuan.” Lalu Sang Buddha berkata,”Lalu bukankah sangat tidak masuk akal untuk mengorbankan darah demi air?” Kedua belah pihak akhirnya meletakkan senjata dan tercapailah perdamaian.” (Dhammapada Atthakata Book 15,1)
Sang Buddha telah menyingkirkan kebencian dan mengisi pikiranNya dengan cinta dan belas kasihan. Menyetujui peperangan adalah hal yang mustahil bagi Sang Buddha.

Ide Tentang Keadilan
Keadilan adalah qualitas (catatan penterjemah: kemampuan) untuk menjadi adil, dan seorang yang adil bertindak secara adil dan sesuai dengan nilai-nilai kebaikan. Akan tetapi ide-ide tentang keadilan dan kebenaran berbeda dari jaman yang satu ke jaman yang lain, juga berbeda dari sudut perorangan. Orang Kristen menyatakan bahwa Tuhan itu Maha Adil, maka dengan meneliti tindakan-tindakan Tuhan, kita akan bisa tau konsep keadilan bagi Tuhan.
Tuhan memberi tahu kita bahwa semua orang yang tidak patuh kepadanya akan dihukum “tujuh kali lebih berat” (Imamat 26:18), yang berarti satu kali berbuat dosa dihukum tujuh kali. Tuhan tentunya menganggap hal ini sebagai sesuatu yang sangat adil dan sepadan. Dia juga memberitau kepada kita bahwa dia akan menghukum anak-anak tak berdosa, cucu-cucu, dan cicit-cicit dari mereka yang berdosa.
“Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya dan kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku.” (Ulangan 5:9)
Ini juga dikenal sebagai menghukum sekaligus banyak; menghukum seluruh anggota keluarga atau kelompok atas kesalahan yang dilakukan oleh salah satu dari anggota keluarga atau kelompok tersebut. Menghukum sekaligus banyak justru dikecam di jaman sekarang karena menghukum sekaligus banyak itu tidak adil dan tidak sepadan. Akan tetapi Tuhan ternyata menganggap hukuman itu cukup adil.
Tuhan juga memberitahu kita bahwa bahkan kesalahan yang sangat kecil sekalipun haruslah dihukum mati. Contohnya, mereka yang bekerja pada hari Minggu harus dilempari batu sampai mati. Pernah sekali seorang ditemukan mengumpulkan kayu bakar pada hari Minggu, dan Tuhan berkata kepada Musa dan orang-orang yang menangkap orang itu:
“Ketika orang Israel ada di padang gurun, didapati merekalah seorang yang mengumpulkan kayu api pada hari Sabat. Lalu orang-orang yang mendapati dia sedang mengumpulkan kayu api itu, menghadapkan dia kepada Musa dan Harun dan segenap umat itu. Orang itu dimasukkan dalam tahanan, oleh karena belum ditentukan apa yang harus dilakukan kepadanya. Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Orang itu pastilah dihukum mati; segenap umat Israel harus melontari dia dengan batu di luar tempat perkemahan.” Lalu segenap umat menggiring dia ke luar tempat perkemahan, kemudian dia dilontari dengan batu, sehingga ia mati, seperti yang difirmankan TUHAN kepada Musa.” (Bilangan 15:32-36)
Hukuman yang adil seharusnya setimpal dengan kejahatan yang diperbuat. Ide Tuhan tentang keadilan tidaklah menjunjung tinggi ide di atas. Kita diberitahu bahwa semua yang tidak mencintai Tuhan akan menderita hukuman abadi di neraka. Banyak orang di dunia ini yang baik hati, jujur dan bermurah hati yang tidak percaya kepada Tuhan, dan menurut Tuhan mereka akan ke neraka. Apakah ini adil? Menurut Tuhan, iya ini adil.
Apakah Buddha adil? Sang Buddha telah mencapai kebebasan dan penerangan sempurna, dan dia mengajarkan kepada orang banyak untuk mencapai kebebasan itu. Tidak seperti Tuhan, Sang Buddha bukanlah pencipta hukum, bukanlah seorang hakim atau seorang pemberi hukuman. Beliau adalah seorang guru. Dalam berhubungan dengan banyak orang, beliau sangatlah adil, lembut dan penuh maaf dan menganjurkan pengikut-pengikutNya untuk mengikuti jejak tingkah laku beliau. Kalau seorang berbuat salah, dia berkata orang lain tidak perlu menghukum orang yang berbuat salah itu.
“Ketika kita hidup bersama di dalam kerukunan, seorang rekan Bhikkhu mungkin akan melakukan kesalahan, sebuah pelanggaran. Akan tetapi janganlah kamu secara berbondong-bondong mengutuk dia, kesalahan itu haruslah diteliti secara seksama terlebih dahulu.” (Majjhima Nikaya, Sutta No. 103)
Sebagai tambahan, ketika seorang sedang diusut, orang lain hendaknya tidak terpengaruh oleh prasangka atau berpihak pada pihak tertentu, dan perlu melihat kedua sisi dari kasus tersebut.         “Bukan dengan memberi keputusan yang berburu-buru seseorang menjadi adil. Seorang yang bijaksana adalah seorang yang menyelidiki kedua belah pihak. Barangsiapa yang tidak membuat keputusan secara sewenang-wenang, tetapi menyampaikan keputusan secara tidak memihak dan sesuai dengan kenyataan yang ada, orang itulah yang menjadi pelindung hukum, dan bisa kau sebut adil.” (Dhammapada 256-257) (Catatan dari penterjemah: Bukanlah seorang adil, ia yang membuat keputusan tergesa-gesa (terpengaruh oleh keinginan, kebencian, ketakutan dan kebodohan)).
Sedangkan dalam hal hukuman, Sang Buddha tentunya akan berpendapat bahwa melempari batu seseorang sampai mati atau segala jenis hukuman mati sebagai sesuatu yang kejam. Beliau sendiri selalu bersedia memaafkan. Pernah sekali seorang yang bernama Nigrodha bertindak jahat kepada Sang Buddha, tetapi kemudian menyadari kesalahannya dan menyadari kesalahannya kepada Sang Buddha. Dengan penuh kasih dan maaf Sang Buddha berkata:
“Tentu saja, Nigrodha, pelanggaran telah kau perbuat, ketika melalui kebodohan, ketidaktahuan, dan kejahatan engkau berkata seperti itu kepadaku. Tapi engkau telah mengetahui pelanggaran yang kau lakukan dan menebus kesalahanmu dengan kebenaran, saya terima pengakuan salahmu”  (Digha Nikaya, Sutta No.25)
Sang Buddha memaafkan semua tanpa peduli apakah mereka menerima ajaranNya atau tidak, dan bahkan jika Nigrodha menolak untuk meminta maaf kepada Sang Buddha, Sang Buddha tidak akan mengancam untuk menghukum Nigrodha. Bagi Sang Buddha, tanggapan yang layak kepada kejahatan atau kesalahan adalah untuk tidak mengancam untuk menghukum. Menurut Sang Buddha, tanggapan yang layak kepada kejahatan atau kesalahan adalah pendidikan dan sifat memaafkan. Seperti yang Beliau utarakan:
“Oleh tiga macam hal seorang bijaksana bisa dikenal. Apakah tiga macam hal itu? Dia melihat kesalahanya sendiri apa adanya. Ketika dia melihat kesalahan itu apa adanya dia memperbaiki kesalahan tersebut dan ketika orang lain mengakui kesalahan, orang bijaksana selayaknya memaafkan kesalahan yang diakui itu.” (Anguttara Nikaya, Book of Threes, Sutta No.10)

Sikap Terhadap Penyakit
Penyakit, kesakitan dan wabah penyakit telah menjadi momok manusi selama berabad-abad, menyebabkan penderitaan dan kesedihan yang tidak bisa dijelaskan. Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa Tuhan selalu menganggap penyakit sebagai cara yang berguna untuk menyampaikan kemarahanNya dan menyampaikan balas dendamNya. Ketika raja-raja Firaun menolak untuk melepaskan kaum Yahudi (Catatan dari penterjemah: Raja-raja Firaun yang berkeras hati itu ternyata adalah atas kehendak Tuhan. Simaklah Keluaran 9:12), Tuhan menimbulkan nanah busuk ke seluruh orang Mesir (Keluaran 9:8-12). Tuhan menggunakan penderitaan semacam itu untuk menghukum pria, wanita, anak-anak dan bayi-bayi atas dosa yang dilakukan oleh satu orang. Selanjutnya Tuhan membuat semua anak laki-laki pertama di dalam keluarga untuk mati. Dia berkata:
“Maka tiap-tiap anak sulung di tanah Mesir akan mati, dari anak sulung Firaun yang duduk di takhtanya sampai kepada anak sulung budak perempuan yang menghadapi batu kilangan, juga segala anak sulung hewan. Dan seruan yang hebat akan terjadi di seluruh tanah Mesir, seperti yang belum pernah terjadi dan seperti yang tidak akan ada lagi.” (Keluaran 11:5-6) (Catatan dari penterjemah: Ini juga membuktikan hal lain yang mungkin tidak diulas oleh A L De Silva tentang ayat di atas. Di dalam ayat tersebut, Tuhan tampaknya begitu sayang kepada orang Yahudi, sehingga orang-orang Mesir harus menderita ketika orang Yahudi menjadi tawanan. Seperti yang kita ketahui orang-orang Mesir adalah ciptaan Tuhan juga, lalu mengapa Tuhan pilih kasih? Ini membuktikan bahwa Tuhan tidak sempurna, penuh kemarahan, penuh dendam, pilih kasih, tidak adil. Bagi semua yang membaca, setelah membaca ayat-ayat yang mengerikan itu, janganlah takut, karena jelas tidak mungkin hukuman yang mengerikan itu jatuh kepada Anda.)
Masih ada contoh jelas yang menjelaskan ide Tuhan tentang keadilan dan kasih sayang. Ribuan pria, anak laki-laki, dan bayi-bayi tak berdosa yang tak terhitung jumlahnya dibunuh oleh Tuhan hanya karena raja Firaun tidak mau mengikuti perintah Tuhan. Di beberapa tempat yang tertera di dalam Alkitab, Tuhan menjanjikan bahwa dia akan menimbulkan penyakit yang menyeramkan kepada semua yang tidak mengikuti hukum-hukum tauratNya.
“TUHAN akan mendatangkan penyakit sampar kepadamu, sampai dihabiskannya engkau dari tanah, ke mana engkau pergi untuk mendudukinya. Tuhan akan menghajar engkau dengan batuk kering, demam, demam kepialu, sakit radang, kekeringan, hama dan penyakit gandum; semuanya itu akan memburu engkau sampai engkau binasa.” (Ulangan 28:21-22)
“TUHAN akan menghajar engkau dengan barah Mesir, dengan borok, dengan kedal dan kudis, yang dari padanya engkau tidak dapat sembuh.” (Ulangan 28:27)
“maka TUHAN akan menimpakan pukulan-pukulan yang ajaib kepadamu, dan kepada keturunanmu, yakni pukulan-pukulan yang keras lagi lama dan penyakit-penyakit yang jahat lagi lama. Ia akan mendatangkan pula segala wabah Mesir yang kautakuti itu kepadamu, sehingga semuanya itu melekat kepadamu. Juga berbagai-bagai penyakit dan pukulan, yang tidak tertulis dalam kitab Taurat ini, akan ditimbulkan TUHAN menimpa engkau, sampai engkau punah.” (Ulangan 28:59-61)
Terkadang Tuhan bahkan menimbulkan wabah penyakit yang ganas kepada orang hanya untuk menguji iman orang tersebut. Untuk menguji Ayub, Tuhan membiarkan semua anak Ayub untuk mati (Ayub1:18-19) dan Ayub sendiri dikenai penyakit yang parah (Ayub 2:6-8). Begitu dalamnya penderitaan Ayub, Ayub sendiri bahkan berharap dia tidak pernah di lahirkan (Ayub 3:1-26)
Tuhan bahkan membuat orang menjadi buta dan membiarkan mereka hidup mengemis dan meraba-raba dalam kegelapan, supaya Tuhan bisa menyembuhkan mereka dan memamerkan keajaiban akan kekuatan Tuhan (Yohanes 9:1-4). Tentunya Tuhan melihat bahwa membuat orang sakit, menciptakan penyakit adalah cara yang berguna untuk menghukum orang dan menunjukkan kekuasaanNya.
Sekarang marilah kita lihat sikap Sang Buddha kepada penyakit. Sang Buddha melihat penyakit dan kesakitan sebagai bagian dari penderitaan, yang mana beliau ajarkan cara-cara untuk terbebas dari penderitaan itu. Beliau juga disebut sebagai “dokter yang penuh kasih sayang”. Tidak pernah ada contoh di mana Sang Buddha menyebabkan penderitaan untuk menghukum orang-orang atau karena Sang Buddha marah kepada mereka. Sang Buddha sangat mengerti bahwa selama kita mempunyai tubuh, kita akan bisa terkena penyakit. Beliau mengajak kita untuk mencapai Nibbana dan terbebas dari penderitaan selamanya. Di saat beliau mencoba untuk memecahkan masalah sampai ke akar-akarnya, beliau juga melakukan hal-hal yang nyata untuk menyembuhkan orang sakit supaya sembuh kembali. Tidak seperti Tuhan yang justru menimbulkan penyakit, Sang Buddha memberikan nasihat-nasihat yang berguna untuk membantu dan meringankan penderitaan si sakit. (Catatan dari penterjemah: Paragraf di atas justru menjadi inti pertama dan utama dari ajaran Sang Buddha yang sering di sebut Empat Kesunyataan Mulia atau dalam bahasa Inggrisnya The Four Noble Truths. Keempat itu adalah: Dukkha (penderitaan), Dukkha Samudaya (sumber penderitaan), Dukkha Nirodha (terhentinya Dukkha atau pencapaian Nibbana), dan Magga (jalan menuju terhentinya Dukkha))
“Dengan lima unsur seseorang bisa merawat si sakit. Lima Unsur apa? Pertama adalah menyiapkan pengobatan yang benar; seorang yang tahu apa yang baik untuk si pasien dan menyediakannya, apa yang tidak baik, tidak disediakan; seseorang merawat dengan penuh kasih dan tanpa ada keinginan dibalik perawatannya itu; seseorang yang tidak jijik terhadap pengeluaran yang keluar dari tubuh pasien, air kencing, muntahan dan air ludah; dan dari waktu ke waktu dapat mengarahkan, membangkitkan semangat, membuat ceria dan memuaskan si sakit dengan pembabaran Dhamma” (Anguttara Nikaya, Book of Fives, Sutta No.124)
Beliau tidak hanya mengajarkan hal di atas, tapi juga mempraktekkannya sesuai apa yang diajarkan oleh beliau sendiri. Ketika sekali waktu, beliau menemukan seorang bhikkhu yang sakit, terlantar dan berbaring di atas kotoran sendiri, Sang Buddha memandikannya, menenangkannya dan memanggil bhikkhu yang lain dan berkata kepada mereka, “Kalau kamu bersedia merawat saya, rawatlah juga mereka yang sakit.” (Vinaya, Mahavagga 8). Ketika Tuhan marah, dia akan menimbulkan penyakit-penyakit kepada orang dan melihat mereka menderita. Ketika Sang Buddha melihat orang yang sakit, dengan penuh kasih sayang, beliau melakukan semua yang bisa beliau lakukan untuk merawat mereka sampai sembuh.

Menciptakan Kejahatan
Tuhan menciptakan semua yang baik, tetapi karena Tuhan menciptakan segalanya, dia juga menciptakan yang jahat. Tuhan sendiri yang berkata:
“yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang; Akulah TUHAN yangmembuat semuanya ini.” (Yesaya 45:7-8) (Lihat juga Roma 11:32)
Ketika kita merenungkan tentang alam, kita ingat bahwa Tuhan telah menciptakan segalanya, berarti kita sudah harus tau maksud dari kata-kata di atas. Kuman lepra menyebabkan penderitaan yang tidak bisa diutarakan dengan kata-kata, dan kuman lepra itu diciptakan oleh Tuhan. Kuman penyakit paru-paru (TBC) membunuh dan membuat menderita jutaan manusia setiap tahun, dan kuman itu diciptakan oleh Tuhan. Tuhan menciptakan bakteri penyebab wabah, kutu dan serangga, tikus-tikus beserta penyakit pes yang mana selama beratus-ratus tahun telah membunuh ratusan juga nyawa. Di tahun 1665, 68 ribu orang mati oleh karena wabah di London. Tak diragukan lagi, contoh-contoh di atas adalah arti yang dimaksud oleh Tuhan ketika Tuhan bilang dia menciptakan kegelapan dan kejahatan. Tetapi Tuhan juga menciptakan kejahatan yang lain. Tuhan sendiri berkata: “Adakah sangkakala ditiup di suatu kota, dan orang-orang tidak gemetar? Adakah terjadi malapetaka di suatu kota, dan TUHAN tidak melakukannya? (Amos 3:6)
(Catatan dari penterjemah: Terlintas begitu banyak malapetaka yang melanda manusia di segala penjuru dunia, dan juga peristiwa 14 Mei 1998 di Jakarta yang mana menelan banyak korban pembunuhan, pemerkosaan, dan kejahatan-kejahatan lain.)
Tentu saja ayat di atas menuju kepada bencana alam seperti gempa bumi, kebakaran, perselisihan di dalam masyarakat, peperangan dan segala macam bentuk kejahatan yang telah begitu sering melanda kota-kota yang dibangun oleh manusia. Kita juga membaca di Alkitab bahwa bahkan roh-roh kejahatan berasal dari Tuhan. Di 1 Samuel 16:14-16, kita diberitahu bahwa roh kejahatan yang berasal dari Tuhan meyiksa Saul.
Apakah Sang Buddha menciptakan kejahatan? Buddha bukanlah pencipta seperti konsep Tuhan orang Kristen, maka Buddha tidak mungkin bisa dituduh bertanggungjawab atas “kegelapan dan kejahatan”.  Satu-satunya hal yang beliau “ciptakan” adalah Dhamma yang beliau temukan dan sebarkan ke seluruh dunia. Dan Dhamma yang diajarkan itu telah membawa cahaya kebaikan, kelembutan di manapun Dhamma di babarkan.

Pengorbanan-Pengorbanan
Di dalam Kitab Perjanjian Lama ketika orang-orang melanggar hukum Taurat Tuhan, Tuhan akan menjadi sangat marah dan satu-satunya cara bagi pelanggar hukum Taurat untuk bertobat dan meredakan murka Tuhan adalah dengan mempersembahkan kurban binatang. Tuhan sendiri yang memberitahu bagaimana cara-cara untuk membunuh dan memotong binatang itu.
“Jikalau persembahannya kepada TUHAN merupakan korban bakaran dari burung, maka haruslah ia mempersembahkan korbannya itu dari burung tekukur atau dari anak burung merpati. Imama harus membawanya ke mezbah, lalu memulas kepalanya dan emmbakarnya di atas mezbah. Darahnya harus ditekan ke luar dari dinding mezbah. Temboloknya serta dengan bulunya haruslah disisihkan dan dibuang ke samping mezbah sebelah timur, ke tempat abu. Dan ia harus mencabik burung itu pada pangkal sayapnya, tetapi tidak sampai terpisah; lalu imam harus membakarnya di atas mezbah, di atas kayu yang sedang terbakar; itulah korban bakaran, suatu korban api-apian yang baunya menyenangkan bagi TUHAN.” (Imamat 1:14-17)
Tuhan bilang ketika daging, lemak, kulit dan tulang dari kurban binatang itu dilemparkan ke dalam api dan terbakar, dia menyukai aromanya. (Imamat 1:9, 1:17). Tapi tidak semua kurban  yang Tuhan minta adalah binatang; terkadang Tuhan juga meminta kurban manusia. Tuhan pernah berkata kepada Abraham:       “Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.” (Kejadian 22:2)
Abraham membawa anaknya ke tempat yang telah ditujukan oleh Tuhan, membangun altar, membaringkan anaknya di atas altar tersebut dan mengangkat pisaunya tinggi-tinggi. Persis sebelum Abraham menyayat leher anaknya sendiri, Abraham dihentikan oleh seroang malaikat. (Kejadian 22:12). Barangkali, Abraham adalah pengikut yang setia karena telah dengan buta dan tanpa menyanggah rela melakukan apa saja yang diperintahkan Tuhan, bahkan sampai sejauh mempersiapkan untuk memotong anaknya sebagai kurban kepada Tuhan.
Beberapa abad berikutnya, dosa manusia menjadi begitu buruk sehingga kurban binatang juga sudah tidak cukup untuk memenuhi tuntutan kemurkaan Tuhan. Tuhan meminta kurban yang lebih besar, lebih berharga – anakNya sendiri, Yesus. Sekali lagi darah diperlukan untuk menebus dosa orang berdosa yang mana akan mempersatukan orang berdosa dengan Tuhan. Sehingga orang Kristen jaman sekarang sering berkata, “dosa kita telah dibersihkan oleh darah Yesus.” (Catatan dari penterjemah: Orang Kristen juga akan mengatakan bahwa kasih sayang Tuhan kepada manusia begitu besar sehingga Yesus rela mati untuk menebus dosa manusia. Sekilas pandang, pernyataan ini sangat menyentuh hati. Akan tetapi marilah kita teliti dengan seksama. Seperti yang telah di ulas, Tuhan sendiri yang berkata bahwa dia sudah memilih siapa yang akan masuk surga bersamaNya bahkan sebelum alam semesta ini diciptakan. Lalu untuk apa lagi mengorbankan anakNya, Yesus, untuk menebus dosa manusia? Sangat tidak masuk akal.)
(Catatan dari penterjemah: Hal lain yang perlu kita perhatikan adalah, orang yang mengurbankan kurban binatang ataupun manusia adalah orang yang berdosa kepada Tuhan. Lalu kepada siapa Tuhan mengorbankan anakNya sendiri? Tampaknya Tuhan juga telah berdosa kepada “mahluk yang lebih tinggi” sehingga perlu menyerahkan kurban untuk memuaskan mahluk yang lebih tinggi itu, seperti yang dia minta dari manusia.)
Apa pendapat Sang Buddha tentang kurban binatang atau manusia? Pada jaman Sang Buddha masih hidup, dewa-dewa Hindu dipersembahkan kurban binatang seperti Tuhan Kristen, sehingga Buddha sangatlah sadar akan adanya praktek kurban ini. Tetapi Sang Buddha menganggap kurban ini sebagai tindakan yang kasar, kejam dan tidak berguna.
“Pengurbanan kuda atau orang, Upacara Pembuangan, Minuman Pengurbanan, Upacara Kemenangan, upacara Penarikan Petir (para dewa), semua jenis upacara tidaklah sepadan dengan seperenambelas dari hati yang penuh dengan cinta, seperti pancaran bulan yang mengalahkan sinar-sinar bintang” (Anguttara Nikaya, Book of Eights, Sutta No.1)
Orang Kristen percaya bahwa kurban darah Yesus bisa membersihkan dosa-dosa mereka seperti orang Hindu yang percaya bahwa dosa-dosa mereka bisa dibersihkan dengan mandi di sungai-sungai yang dianggap suci. Sang Buddha mengkritik ide Hindu, sama halnya Sang Buddha akan mengkritik ide Kristen tersebut, kalau Sang Buddha tau tentang pengurbanan Kristen. Mempercayai bahwa darah, air atau semua unsur-unsur dari luar bisa menyucikan hati, yang mana adalah unsur dari dalam, tentu saja merupakan hal yang bodoh.
“Di Sungai Bahuka, di Adhikakka, bagian dari Gaya, bagian dari Sundrika, para Sarassati, para Payaga atau Bahumati,  si orang bodoh itu bisa membasuh diri berkali-kali tetapi tidak bisa membersihkan kelakuan-kelakuan buruk yang diperbuatnya. Apa yang bisa dilakukan oleh sungai-sungai Sundrika, Payaga atau Bahumati lakukan? Sungai-sungai itu tidak bisa membersihkan amarah, kelakuan-kelakuan orang jahat. Bagi yang berhati suci, setiap hari adalah hari yang beruntung. Bagi yang berhati suci, setiap hari adalah hari yang suci.” (Majjhima Nikaya, Sutta No.7)
Dengan bermandikan darah atau mandi di sungai suci adalah pengganti yang tidak sebanding dengan menyucikan diri sendiri dengan berbuat hal-hal yang suci. Satu-satunya pengorbanan yang Buddha minta dari kita adalah bagi kita untuk mengorbankan keegoisan (mementingkan diri sendiri) dan mengganti keegoisan itu dengan cinta kasih, kebijaksanaan dan belas kasihan.

Cinta Kasih
Kita diberitahu bahwa Tuhan itu penuh cinta kasih dan Alkitab seringkali menyebutkan bahwa cinta kasih adalah salah satu kualitas dari Tuhan. Akan tetapi, ada beberapa macam cinta kasih. Seseorang bisa saja mencintai anaknya sendiri akan tetapi membenci anak tetangga. Seseorang mungkin punya cinta yang besar kepada negerinya sendiri, tetapi mempunyai kebencian yang membara terhadap negara lain. Meskipun kita bisa mencintai seseorang secara mendalam, kita bisa saja, lewat perubahan situasi, sehingga timbul perbedaan dan bahkan timbul kebencian kepada orang yang tadinya kita cintai. Cinta yang disebut di atas adalah jenis cinta tingkat rendah, yang kurang mantap, jenis cinta yang dirasakan oleh orang-orang biasa. Tentu saja ada jenis cinta yang lebih mulia, lebih menyeluruh. Jenis cinta yang lebih tinggi inilah yang sangat sering dijelaskan di dalam tulisan-tulisan Buddhis dan juga di dalam Alkitab. Di kitab Korintus kita bisa membaca:
“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.” 1 Korintus 13:4-5
Apakah Tuhan menunjukkan jenis cinta yang lebih tinggi ini? Marilah kita teliti. Kita seringkali diberitahu bahwa cinta itu penuh kesabaran. Kesabaran diterangkan sebagai kemampuan untuk menunggu dengan tenang untuk jangka waktu yang lama, untuk mengontrol diri sendiri ketika marah, khususnya kemarahan terhadap kebodohan dan keterlambatan. Kita ltelah melihat bahwa Tuhan marah setiap hari (Mazmur 7:12) dan dia sangat cepat marah (Mazmur 2:11-12). Tentunya Tuhan mempunyai sedikit sekali kesabaran.
Seringkali juga kita dengar bahwa cinta itu lemah lembut. Apakah Tuhan lemah lembut? Bacalah Ulangan 28:15-68 dimana Tuhan menjelaskan dalam kata-katanya sendiri sekejam apa dia bisa berbuat. Bacaan-bacaan yang mengejutkan ini membuktikan kita dengan tanpa ragu-ragu lagi bahwa Tuhan sangat mampu berbuat kekejaman yang mengerikan. Tentu saja bisa kita simpulkan bahwa Tuhan tidaklah selalu lemah lembut. Juga kita dengar bahwa cinta itu tidaklah iri terhadap yang lain. Iri hati, tentunya, sangat mirip dengan kedengkian dan Tuhan sering sekali mengaku bahwa diriNya sangatlah dengki. Dia mengatakan:         “Sebab TUHAN, Allahmu, adalah api yang menghanguskan, Allah yang cemburu.” (Ulangan 4:24)
Kita juga diberitahu bahwa cinta itu tidak sombong dan tidaklah angkuh. Apakah Tuhan tidak sombong dan tidak angkuh? Terlihat jelas sekali bahwa Alkitab tidaklah memberikan pengertian kepada kita bahwa Tuhan itu rendah hati dan tidak sombong. Tuhan seringkali berkata kepada Ayub betapa hebatnya diriNya. (Ayub 40:4) dan pada akhirnya menyombongkan dirinya: “Orang yang nekatpun takkan berani membangkitkan marahnya. Siapakah yang dapat bertahan di hadapan Aku? Siapakah yang menghadapi Akuy, yang Kubiarkan tetap slamat? Apa yang ada di seluruh kolong langit, adalah kepunyaan-Ku.” (Ayub 41:1-2)
Berikutnya kita juga diberitahu bahwa cinta itu tidaklah mudah marah. Telah kita buktikan bahwa Tuhan itu cepat sekali marah.
“Supaya Ia jangan murka dan kamu binasa di jalan, sebab mudah sekali murka-Nya menyala.” (Mazmur 2:11)
Akhirnya, kita diberitahu bahwa cinta itu tidaklah menghitung kesalahan yang diperbuat, cinta itu memaafkan dan melupakan kesalahan. Apakah Tuhan menghitung kesalahan yang diperbuat? Tuhan berkata bahwa dia akan menghukum anak-anak, cucu-cucu dan cicit-cicit dari mereka yang berbuat salah. (Ulangan 5:9). Untuk bisa menghukum semua keturunan dari orang bersalah, Tuhan tentunya mencatat dosa-dosa ynag diperbuat dan mengingat kesalahan-kesalahan tersebut. Yesus berkata bahwa Tuhan tidak akan pernah memaafkan mereka yang menghina Roh Kudus (Lukas 12:10).
Kita juga diberitahu bahwa Tuhan memasukkan para pendosa dan mereka yang tidak percaya ke dalam neraka abadi. Dalam kata lain, tuhan menolak untuk memaafkan mereka. Secara singkat bisa disimpulkan bahwa Tuhan mencatat dan menghitung dosa manusia untuk selama-lamanya. Sangatlah jelas sekali lagi bahwa Tuhan tidak menunjukkan kualitas cinta tingkat tinggi.
Bagaimana dengan Buddha? Apakah Beliau menunjukkan jenis cinta yang tertinggi? Ciri-ciri pertama dari cinta tertinggi adalah kesabaran, dan tidak pernah sekalipun tercatat di dalam Tipitaka bahwa Buddha tidak sabar. Bahkan ketika Beliau dimaki dan dihina, Beliau tetaplah tenang dan sabar. Semua tingkah laku Sang Buddha menunjukkan ketenangan, dan kesabaran yang luar biasa. Ketika Asurinda mengutuk dan mencaci-maki Sang Buddha, Beliau dengan kalem menjawab:
“Barangsiapa yang mencaci-maki orang yang mencaci-maki dia adalah orang yang dua kali lebih buruk. Untuk menahan diri dari pembalasan adalah untuk memenangkan pertempuran yang sulit dimenangkan. Jika seseorang tahu bahwa seorang yang lain sedang marah tapi dia sendiri menahan diri dari kemarah, orang yang menahan kemarahan itu telah berbuat yang terbaik untuk dirinya sendiri dan untuk orang yang marah itu. Orang tersebut adalah penyembuh dari kedua belah pihak.” (Samyutta Nikaya, Chapter Seven, Sutta No.3) (Catatan dari penterjemah: Dalam paragraf di atas, perlu kita ketahui bahwa pertempuran yang disebut oleh Sang Buddha adalah pertempuran melawan diri sendiri, pertempuran melawan diri sendiri untuk tidak marah dan menahan kesabaran tidaklah mudah. Bukan pertempuran yang saling membunuh.)
Sang Buddha yang selalu sabar, adalah juga Sang Buddha yang terbebas dari kemarahan. Bahkan ketika sepupu Sang Buddha mencoba untuk membunuhNya, Sang Buddha menunjukkan rasa kasihan dan pengertian.
Kita juga sering diberitahu bahwa cinta itu lemah lembut. Apakah Buddha lemah lembut? Sekali lagi, tidak pernah sekalipun Sang Buddha menjadi tidak lemah lembut. Sang Buddha selalu lemah lembut dan penuh cinta kasih – bukan hanya kepada orang yang menerima ajaranNya, akan tetapi juga kepada pengikut-pengikut semua aliran kepercayaan, bukan hanya kepada orang yang baik, tapi juga kepada orang yang jahat, bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada binatang. Beliau berkata: “Siapapun hendaknya tidak berbuat hal yang tidak mengasihi, hal tidak mengasihi yang orang bijaksana akan mengutuk. Dan dia hendaknya berpikir,”Semoga semua mahluk hidup aman dan berbahagia. Mahluk apapun yang ada, yang bergerak atau yang tidak, tinggi, sedang atau pendek, besar atau kecil, terlihat atau tidak terlihat, yang tinggalnya jauh ataupun dekat, yang sedang ada, atau yang belum ada, semoga mereka semua berbahagia.”
Dia hendaknya tidak menyakiti yang lain atau memandang hina siapapun juga dengan alasan apapun juga. Hendaknya tidaklah mengharapkan kesakitan atas orang lain yang disebabkan oleh kemarahan atau kedengkian. Seperti halnya seorang ibu yang akan melindungi anak satu-satunya meskipun harus mempertaruhkan nyawanya sendiri, demikian pula, dia hendaknya menumbuhkan cinta yang tak terbatas kepada semua mahluk di dunia.” (Sutta Nipata, Verses 145-149)
Sang Buddha tidak hanya mengajarkan, tetapi Beliau juga melaksanakan semua yang Beliau ajarkan. Tuhan mengatakan bahwa Dia pencemburu dan dengan ucapan ini, Dia cemburu kepada tuhan-tuhan lain dan agama-agama lain. Dia mau semua orang untuk menyembah dan memuja Dia. Begitu cemburunya Dia, Dia berkata pengikut-pengikutnya harus membunuh bahkan anak mereka sendiri kalau anak mereka memuja tuhan lain. (Ulangan 13:6) dan Tuhan benci kepada pengikut-pengikut agama lain.
“Engkau benci kepada orang-orang yang memuja berhala yang  sia-sia” (Mazmur 31:7)
“Aku beroleh pengertian dari titah-titahMu, itulah sebabnya aku benci segala jalan dusta.” (Mazmur 119:104)
Apakah Buddha cemburu kepada kepercayaan lain? Tentu saja tidak! Seorang yang bernama Upali dulunya adalah pengikut agama Jain. Sang Buddha menjelaskan Dhamma kepada Upali dan sesudahnya Upali memutuskan untuk menjadi seorang Buddhis. Sang Buddha tidak merasa diagungka, beliau juga tidak berambisi untuk menarik Upali. Malahan Sang Buddha menasehati Upali untuk memikirkan secara matang sebelum membuat keputusan yang demikian pentingnya:
“Lakukan penyelidikan yang seksama terlebih dahulu, Upali. Penyelidikan yang seksama ada baiknya untuk orang yang terkenal seperti Anda.” (Majjhima Nikaya, Sutta No.56) (Catatan dari penterjemah: Mungkin ada dari kita yang masih tidak yakin akan ajaran Sang Buddha. Mungkin juga orang-orang Kristen yang setelah membaca buku ini, ingin tau lebih banyak tentang ajaran Sang Buddha. Untuk mengetahui dan menyelidiki lebih banyak. Tema-tema seperti Empat Kesunyataan Mulia (Four Noble Thruths), Pancasila Buddhis, Delapan Jalan Kebenaran (Noble Eightfold Paths), Empat Keadaan Yang Gilang Gemilang (Brahma-Vihara: Metta, Karuna, Mudita, Upekkha) adalah tema inti yang sekaligus juga tema awal bagi semua orang yang memulai penyelidikan terhadap ajaran Sang Buddha. Tema-tema  tersebut juga berguna untuk mengingatkan kita dari berbagai tingkat pengetahuan Buddhis, supaya tetap kita amalkan daripada hafalkan. Bab 7 dari buku ini juga membahas beberapa dari tema di atas dengan cukup mendasar dan mudah dimengerti.)
Sang Buddha kemudian menyarankan Upali untuk tetap menawarkan derma kepada agama Jain. Beliau mengatakan karena Beliau bisa melihat kebaikan di semua agama, dan karena beliau telah terbebas dari kedengkian dan iri hati.
Vacchagotta berkata kepada Sang Buddha, “Saya telah mendengar yang dikatakan orang bahwa Kamu pernah berkata bahwa derma baik hendaknya hanya diberikan kepada Kamu dan murid-muridMu, bukan kepada guru-guru dan murid-murid ajaran lain.” Kemudian Sang Buddha berkata,”Mereka yang berkata hal seperti itu tidaklah menyebarkan ucapan-ucapan Saya, mereka tidak mewakili Saya dan berbohong. Sebenarnya, siapapun yang menghasut orang untuk tidak berbuat kebaikan, menghalangi dalam tiga cara. Dia telah menghalangi si pemberi untuk berbuat kebaikan, dia telah menghalangi si penerima untuk bisa terbantu, dan dia menghalangi dirinya melalui kekejiannya.” (Anguttara Nikaya, Book of Threes, Sutta No.57)
Bahkan sampai jaman sekarangpun, para Kristen karismatik dan penyebar injil yang fundamental akan menolak untuk berhubungan dengan orang non-Kristen. Kalau sampai menolak untuk berhubungan dengan orang non-Kristen, tentu saja mereka tidak juga mau membantu orang non-Kristen.
Sang Buddha tidaklah sombong ataupun tinggi hati, Beliau tidak kasar ataupun pamer diri, Dia penyabar dan tidak mencatat kesalahan-kesalahan yang diperbuat kepadaNya. Dari hari pertama Beliau mencapai penerangan sempurna, semua pikiranNya, ucapanNya, dan perbuatanNya adalah penuh dengan kasih sayang dan belas kasihan. Salah satu orang yang hidup pada masa Sang Buddha berkata:
“Saya pernah mendengar pepatah ini,”Untuk hidup di dalam kasih sayang adalah sangat mulia” dan Sang Buddha adalah bukti dari ucapan tersebut karena kita bisa melihat Beliau hidup di dalam kasih sayang.” (Majjhima Nikaya, Sutta No.55)
Beberapa ayat Alkitab yang dikutip di bab ini sangatlah mengejutkan; bahkan orang-orang Kristen menemukan ayat Alkitab itu menggelisahkan hati. Ketika kita menunjukkan ayat-ayat tersebut kepada mereka, mereka akan berkata bahwa ayat-ayat tersebut kebanyakan berasal dari Perjanjian Lama dan tidaklah menggambarkan Tuhan yang sebenarnya, akan tetapi ayat tersebut adalah apa yang penulis kitab-kitab itu kira tentang Tuhan. Sangatlah membingungkan untuk membahas Alkitab dengan orang-orang Kristen! Pada satu saat, Perjanjian Lama adalah firman Allah yang abadi, dan pada saat yang lain, Perjanjian Lama bukanlah firman Allah. Ketika orang-orang Kristen mengutip ayat-ayat dari Perjanjian Lama untuk membuktikan ajaran agamanya, Perjanjian Lama menjadi sumber injil yang mutlak. Ketika kita umat Buddha yang mengutip ayat-ayat Perjanjian Lama yang mengejutkan itu, mereka berkata ayat tersebut hanyalah cermin dari pengertian manusia yang terbatas tentang Tuhan.
============================================================
Bab V
Kenyataan dan Fisik Dalam Kehidupan Kristen
Hal satu-satunya yang membentuk Kristen seperti apa adanya hari ini, pondasi yang mana Kristen berdasar adalaha Yesus Kristus, atau lebih tepat, klaim orang-orang Kristen tentang Yesus. Orang-orang Kristen yang fundamental selalu membuat pernyataan yang dibesar-besarkan tentang orang ini: “Yesus adalah satu-satunya orang di dalam sejarah yang mengklaim dirinya Tuhan” ; “Hanya dengan percaya kepada Yesus dapat memberikan kehidupan kehidupan yang damai dan bahagia”;”Kalau Yesus bukan Tuhan, dia pasti pembual terbesar yang pernah hidup dalam sejarah”; “Ribuan saksi telah melihat dia bangkit dari mati, maka kebangkitannya itu pastilah benar”; “Yesus adalah manusia paling sempurna yang pernah hidup”; dan sebagainya, dan sebagainya, dan sebagainya. Klaim-klaim tersebut terdengar sangat hebat, sampai akhirnya kita lihat bukti-bukti nyata.

Ramalan-Ramalan Tentang dan Oleh Yesus
Setiap kali ada perubahan di dalam gejolak politik Timur Tengah, orang-orang Kristen yang fundamental akan segera membuka Alkitab dan berkata dengan lantang bahwa krisis terbaru yang terjadi ini telah dinubuatkan sebelumnya. Nubuat adalah ramalan yang tercantum di dalam Alkitab yang diharapkan untuk meramalkan kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa depan. Nubuat-nubuat itu dijadikan buah pembicaraan untuk sementara waktu kemudian dilepaskan secara diam-diam ketika nubuat itu tidak terjadi seperti yang diramalkan untuk terjadi.
Orang-orang Kristen mengklaim bahwa banyak dari kejadian-kejadian yang terjadi di dunia ini pada jaman sekarang, telah dinubuatkan jauh sebelumnya di dalam Alkitab. Ketika seseorang bertanya untuk melihat “nubuat-nubuat yang luar biasa” ini, seseorang bisa melihat bahwa nubuat itu sangatlah luas dan umum sehingga nubuat itu bisa saja diartikan ada hubungannya dengan kejadian-kejadian yang terjadi.
Salah satu contohnya adalah, mereka akan mengatakan dunia ini akan segera berakhir karena Alkitab menubuatkan pada hari terakhir, “Kamu akan mendengar deru perang atau kabar-kabar tentang perang.” (Matius 24:6.) Masalahnya adalah nubuat ini bisa saja dihubungkan dengan jaman apa saja dalam sejarah, karena selalu ada peperangan di dalam sejarah dunia karena selalu ada perang di salah satu bagian di dunia.
Orang-orang Kristen juga mengklaim bahwa semua kejadian dalam kehidupan Yesus telah dinubuatkan di dalam Alkitab jauh sebelum Yesus dilahirkan. Dan semua yang dinubuatkan itu terjadi, maka Yesus pastilah seorang Mesias. Maka marilah kita bersama-sama melihat nubuat-nubuat tersebut dan buktikan apakah ada kebenaran dalam klaim tersebut. Di kitab Yesaya di Perjanjian Lama tertuliskan:
“Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.” Yesaya 9:5
Ayat di atas seharusnya merupakan nubuat yang meramalkan kelahiran Yesus. Tapi apakah benar? Selain kejadian dilahirkan, tidak ada satupun nubuat yang tercantum di ayat itu yang terjadi kepada Yesus. Lambang penguasa tidaklah berada di bahunya, Yesus tidak pernah dipanggil maupun memanggil dirinya sendiri dengan gelar yang ada di ayat tersebut, dan tidak ada bukti bahwa dunia lebih aman sesudah kelahiran Yesus dibandingkan sebelum kelahirannya. Ini adalah satu contoh “nubuat luar biasa” yang mana orang Kristen selalu mendasarkan agamanya. Sebelum kelahiran Yesus, seorang malaikat dikatakan seharusnya telah menubuatkan bahwa:
“Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerjaan-Nya tidak akan berkesudahan.” (Lukas 1:32-33)
Akan tetapi jika apa yang dikatakan Alkitab itu benar, Daud tidaklah mungkin menjadi nenek moyang dari Yesus, karena Tuhanlah, bukan Yusuf, ayah Yesus yang sebenarnya. Lagipula, Daud adalah raja dalam arti politik, sedangkan Yesus tidak pernah menjadi raja dalam arti politik maupun dalam arti apapun yang mirip denga Daud. Akhirnya, para keturunan Yakob (orang-orang Yahudi) tidak pernah menerima Yesus sebagai raja mereka, secara politik maupun secara spiritual ataupun dalam arti yang lainnya – dan orang Yahudi pun menolak untuk menerima Yesus bahkan sampaihari ini. Maka seperti nubuat sebelumnya, nubuat di atas juga terbukti salah dari segi manapun. Sekali lagi di dalam kitab Yesaya tercantum:
“Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.” (Yesaya 53:3-5)
Ayat diatas seharusnya menubuatkan tentang ketika Yesus diserang oleh lawan-lawannya, Yesus tidak akan membalas. Akan tetapi di dalam ajaran Kristen Yesus digambarkan sebagai seorang yang secara tegas membela dirinya sendiri terhadap kritik dan dengan lantang mengutuk musuh-musuhnya. Dia mengutuk dan mengkritik orang-orang Farisi ketika mereka melawannya dan menurut Yohanes 18:33-37, Yesus tidak pernah diam ketika sedang diadili.
Ketika prajurit-prajurit Romawi mensalibkan orang, mereka akan memaku mereka di atas salib, membiarkan mereka tergantung di salib untuk beberapa saat dan akhirnya mematahkan kaki mereka, sehingga menambah penderitaan korban dan akhirnya kesakitan itu membunuh mereka. Menurut Alkitab, ketika prajurit-prajurit Romawi datang untuk mematahkan kaki Yesus, Yesus sudah meninggal sehingga mereka tidak jadi mematahkan kakinya (Yohanes 19:31-34).
Ayat di atas menjadi contoh nyata bagi orang Kristen fundamental bahwa nubuat Alkitab telah terjadi. Karena di Mazmur 34:20-21 dikatakan Tuhan tidak akan membiarkan satu tulangpun di tubuh Mesias untuk patah (remuk). Sayangnya orang-orang Kristen telah lupa untuk menyadari bahwa meskipun tulang di kaki Yesus tidak patah, tulang-tulang di telapak kaki Yesus pastilah telah remuk. Ketika paku itu ditancapkan ke dalam kaki Yesus, paku itu pastilah telah meremukkan setidaknya satu atau beberapa dari tulang telapak kaki Yesus.
Orang-orang Kristen mengklaim bahwa Yesus meninggal dan pada hari ketiga bangkit dari kematian. Dan tentunya mereka mengklaim bahwa kebangkitan Yesus telah dinubuatkan sebelumnya. Nubuat itu berbunyi:
“Sebab seperti Yunus tinggal di dalam perut ikan tiga hari tiga malam, demikian juga Anak Manusia akan tinggal di dalam rahim bumi tiga hari tiga malam.” (Matius 12:40)
Akan tetapi seperti nubuat-nubuat yang lain, nubuat yang satu ini juga salah. Yesus dinubuatkan untuk meninggal pada hari Jumat (Jumat Agung) dan bangkit di antara orang mati pada hari Minggu pagi (Minggu Paskah). Bahkan seorang anak sekolah dasar bisa melihat bahwa jumlah hari dari hari Jumat sampai Minggu pagi bukanlah tiga hari tiga malam, melainkan satu hari dua malam. Masalah lain yang muncul adalah sebelum Yesus meninggal, dia berpaling kepada kedua orang jahat yang disalibkan bersamanya dan berkata,”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”(Lukas 23:43).
Jadi menurut nubuat, Yesus akan bangkit dari mati setelah tiga hari; menurut ajaran agama, Yesus bangkit setelah satu hari dan satu malam; dan menurut perkataan Yesus sendiri, dia bangkit dari mati dan pergi ke surga dihari dia meninggal. Akan tetapi bukan saja nubuat yang dibuat tentang Yesus yang salah, nubuat yang dibuat oleh Yesus sendiri juga salah. Orang-orang Kristen yang fundamental selalu berkata bahwa akhir jaman telah akan tiba. Darimana mereka dapatkan ide buruk seperti ini? Mereka dapatkan ide buruk ini dari Yesus. Yesus percaya dan dengan lantang mengajarkan kepada dunia bahwa dunia ini akan berakhir pada masa dia masih hidup atau secepatnya setelah dia meninggal.
“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya angkatan ini tidak akan berlalu, sebelum semuanya terjadi.” Lukas 21:25-33 (Yang diketik adalah persis yang tercantum di dalam buku Beyond Belief, yaitu hanya ayat 32)
“Angkatan ini” yang diucapkan tentunya Yesus sedang mengacu kepada orang-orang yang dia ceramahkan. Di kesempatan yang lain, dia kembali mengatakan kepada orang-orang yang waktu itu berdiri mendengarkan ucapan Yesus bahwa beberapa dari mereka masih akan tetap hidup ketika akhir dunia ini datang.
“Apabila mereka menganiaya kamu dalam kota yang satu, larilah ke kota yang lain; karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sebelum kamu mengunjungi kota-kota Israel Matius, Anak manusia sudah datang.” 10:23
Dalam setiap aspek yang dinubuat oleh Yesus, semuanya terbukti salah. Orang-orang yang hidup pada jaman Yesus hidup sudah jelas telah mati selama 2000 tahun dana buktinya dunia ini belum juga berakhir. Yesus juga belum datang kembali seperti yang dia nubuatkan sendiri. Murid-murid Yesus berhenti mengunjungi semua kota di Israel dalam beberapa tahun setelah kematian Yesus dan Yesus juga belum kembali.
Bukti ini dan beberapa contoh lain telah membuktikan bahwa nubuat-nubuat tentang dan oleh Yesus adalah tidak benar. Bahkan ketika satu nubuat kelihatannya benar, ini tidak berarti bahwa nubuat itu benar. Bisa dibuktikan bahwa siapa saja yang menulis Alkitab telah dengan sengaja membuat kejadian-kejadian itu terjadi sesuai yang dinubuatkan supaya nubuat itu terlihat benar.
Kita akan meneliti satu contoh yang cukup terkenal. Beberapa ratus tahun sebelum Yesus, Perjanjian Lama diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani, bahasa pada waktu itu. Ketika sebuah ayat di Yesaya mengatakan Sang Mesias akan dilahirkan oleh seorang wanita muda (almah), dengan salah telah diterjemahkan menjadi seorang perawan (parthenas). Hal ini telah mempengaruhi nubuat. Ketika para pengarang Injil Perjanjian Baru membacanya, mereka berpikir bahwa untuk bisa menjadi Mesias, ibu Yesus haruslah seorang perawan sehingga mereka mengarang-ngarang tentang perawan yang melahirkan bayi Yesus. Kenyataannya adalah cerita ini perlu dikarang karena adanya salah pengertian. Jadi bukanlah nubuat yang telah diramalkan sebelum kelahiran Yesus, tetapi kejadian-kejadian yang telah di karang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nubuat-nubuat itu.

Kelahiran Yesus
Kita akan sering mendengar orang-orang Kristen fundamentalis dan penyebar Injil untuk membanggakan bahwa tidak ada seorangpun yang pernah menemukan satu kesalahanpun di dalam Alkitab. Sama halnya kita juga akan mendengarkan dari mereka bahwa Alkitab adalah firman-firman yang diilhamkan oleh Tuhan, sehingga Alkitab itu tidak mungkin salah. Melihat bahwa orang Kristen sangat berhati-hati dalam mengutip ayat-ayat dari Injil, akan sangat sulit bagi kita untuk mengerti mengerti mengapa klaim di atas bisa dibuat, apalagi dipercaya.
Marilah kita melihat apa yang diutarakan oleh Alkitab tentang kelahiran Yesus. Pertama, kita diberitahu bahwa kabar rahasia tentang kelahiran Yesus diberitakan kepada Yusuf, ayah Yesus, lewat mimpi. (Matius 1:20). Lalu kita diberitahu bahwa kabar itu diberikan kepada Maria, ibu Yesus, oleh seorang malaikat (Lukas 1:28). Yang mana dari kedua cerita ini yang benar? Apakah Yusuf yang mendapatkan berita itu ataukah Maria? Orang Kristen akan mengatakan bahwa kedua-duanya mendapatkan berita itu. Lalu mengapa kitab Matius tidak menceritakan kehadiran malaikat di hadapan Maria dan kitab Lukas tidak menceritakan mimpi Yusuf?
Di satu pihak kita diberitahu bahwa orang tua Yesus mengadakan perjalanan sebelum bayi Yesus dilahirkan (Lukas 2:4-7) dan di pihak lain kitab Matius 2:13-14  menceritakan bayi Yesus terlahir terlebih dahulu barulah perjalanan dilakukan. Yang mana dari kedua cerita ini yang benar? Ketika kita menyentuh topik tempat Yesus dilahirkan, kita akan menemukan lebih banyak pertentangan di dalam Alkitab. Apakah Yesus dilahirkan di dalam rumah (Matius 1:24-25) ataukah Yesus dilahirkan di palungan di belakang sebuah rumah penginapan? (Lukas 2:7) Kemudian kita melihat nenek moyang Yesus. Kita mempunyai dua daftar tentang nenek moyang Yesus dari pihak ayahnya, akan tetapi ketika kita melihat nama-nama dari daftar tersebut, kita bisa menemukan bahwa mereka hampir tidak ada hubungannya sama sekali. Isi Alkitab malahan saling bertentangan terhadap siapa nama kakek Yesus. Yang satu mengatakan nama kakek Yesus adalah Yakub. (Matius 1:16) dan yang lain mengatakan namanya Eli (Lukas 3:23). Dan lagi, adalah hal yang tidak masuk akal untuk membahas nenek moyang Yesus dari pihak ayah dan Yesus sebagai keturunan Raja Daud (Matius 1:1), yang mana sebenarnya Yusuf bukanlah ayah dari Yesus, melainkan Yesus anak Allah.

Apakah Yesus Seorang Guru yang Baik?
Pada zaman Sang Buddha masih hidup, ada satu sekte keagamaan yang dinamakan Nigantha yang terpecah-belah setelah meninggalnya pendiri agama tersebut, Nataputta.
Dan setelah kematiaannya, Nigantha terpecah menjadi dua bagian, bertentangan dan saling mencela, bertengkar dan saling menyerang, dan menggunakan peperangan kata…..Kamu sudah akan menduga bahwa mereka merasa jijik, tidak senang, dan menolak setelah melihat ajaran itu disampaikan dengan sangat buruk, sangat tidak layak untuk dibabarkan, dan sangat tidak berguna, memadamkan hasrat karena ajaran itu diajarkan oleh seorang yang tidak mencapai penerangan sempurna dan sekarang tidak ada yang menjaga ajaran ataupun penengah. (Digha Nikaya, Sutta No.29)
Cukuplah menarik, inilah yang  terjadi seketika begitu Yesus meninggal dan dengan alasan yang sama pula. Yesus sangatlah terkenal dengan perumpamaan-perumpamaan yang dia gunakan untuk menggambarkan ide-idenya, tapi pada saat yang sama dia seringkali gagal menerangkan maksudnya secara jelas. Terkadang ini dikarenakan Yesus sendiri tidaklah jelas tentang ide yang dia sampaikan, dan pada beberapa saat yang lain, kelihatannya dia adalah seorang yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Dan yang lebih aneh lagi adalah Yesus bahkan mengakui bahwa dia sengaja membuat pesannya tidak jelas.
Dan ketika para muridnya bertanya apa maksud dari perumpamaan yang diucapkan, dia berkata:  (Lukas 8:9-10, Markus 8:17-18)
“Mereka tidak mengerti perkataan itu, sebab artinya tersembunyi bagi mereka, sehingga mereka tidak dapat memahaminya. Dan merek0 tidak berani menanyakan arti perkataan itu kepada-Nya.” Lukas 9:45
Gabungkan kesengajaan untuk membuat orang lain tidak mengerti, beberapa ide-ide yang bertentangan dari ajaran Yesus, maka tidaklah sulit untuk dibayangkan mengapa para muridnya terjerumus ke dalam pertentangan ketika Yesus meninggal. Di dalam Surat-Surat Paulus, sering disebutkan bahwa adanya percekcokan dan pertentangan di antara beberapa kelompok awal orang Kristen. Paulus mengkomplain bahwa semua gereja di Asia melawannya (2 Timotius 1:15) dan mereka menolak untuk berpihak kepadanya dalam beberapa argumen theologi (ilmu ketuhanan) (2 Timotius 4:14-16).
Dia menjelaskan tentang pertentangannya itu kepada Petrus dan para tetua gereja di Yerusalem (1 Tesalonika 2:1-20), dan tentunya menuduh saingan-saingannya tidak mempunyai kepercayaan sejati (2 Tesalonika 3:1-3), mengajarkan “tentang Kristus yang lain” dan tidak mengenal Tuhan (Titus 1:10-16). Yohanes dengan pahit mengeluh bahwa para lawannya mengusir semua yang mendukung Yohanes keluar dari gereja (Yohanes 1:9-10). Paulus membuat seruan yang putus-asa dan sia-sia agar semua orang-orang Kristen pertama untuk bersatu.
“Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahandi antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati-sepikir. Sebab, saudara-saudaraku, aku telah diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloe tentang kamu, bahwa ada perselisihan di antara kamu. Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus.” (1 Korintus 1:10-12)
Apa yang dipertentangkan oleh orang-orang Kristen pertama itu? Salah satu dari banyak hal yang dipertentangkan tampaknya adalah pada hal apakah anak-anak pria perlu disunat atau tidak. (Roma 2:25-29, Galatia 6:12-15, Filipi 3:2-4, Kolose 2:11-13). Paulus menentang persunatan dan menyebut orang yang setuju akan sunat sebagai “anjing” (Filipi 3:2), dan berkata bahwa dia berharap mereka yang disunat akan secara menyeluruh mengebiri diri mereka sendiri (Galilea 5:12) dan sesat (Titus 1:10).
Sangat menyedihkan bahwa inilah hal yang sangat mengingatkan kita kepada orang-orang Kristen modern. Ketika mengaku bahwa mereka adalah pemilik kebenaran sejati, tetapi terjadi begitu banyak pertentangan di antara mereka tentang apa kebenarna itu. Akhirnya pertentangan itu telah memecahkan mereka menjadi ratusan golongan agama, sekte, pemujaan, dan gereja, dan menolak untuk secara bersatu memuja satu Tuhan.
Sama halnya dengan orang-orang Kristen pertama, banyak sekali niat buruk dan kedengkian di antara mereka yang mana satu kelompok menuduh kelompok yang lain bukan “Kristen sejati”, tidak mengerti isi Alkitab, dan dibimbing oleh Setan. Bagi orang Buddhis dan orang non-Kristen yang lain, ini sangatlah membingungkan. Kalau benar firman-firman Yesus tentang penyelamatan itu jelas, dan jika benar Tuhan berbicara dengan dan menuntun orang Kristen melalui doa, mengapa terdapat begitu banyak pertentangan dan permusuhan di antara mereka. (Catatan dari penterjemah: Orang-orang Kristen juga mungkin akan mengatakan bahwa adanya begitu banyak golongan dan sekte dalam ajaran agama Kristen dikarenakan penafsiran yang berbeda tentang Alkitab. Kalau kita mendengar jawaban seperti itu, ini jelas sangatlah membingungkan. Bagaimana tidak? Kalau Alkitab benar-benar adalah Firman Allah, dan umat Kristen dituntun oleh dan berbicara dengan Tuhan yang sama, bagaimana mungkin bisa ada perbedaan penafsiran? Itu berarti KALAU Tuhan ada, Tuhan tidaklah bisa berkomunikasi dengan baik, maka Tuhan itu tidaklah sempurna. Kalau berkomunikasi saja tidak bisa, bagaimana bisa menciptakan alam semesta ini? )

Perjamuan Terakhir
Alkitab telah memberikan kita keterangan yang sangat sedikit tentang kehidupan Yesus sampai dia berumur 30 tahun. Dan bahkan ketika dia pelayanan kepada umatnya dimulai, terdapat banyak kebingungan tentang apa yang terjadi dan waktu kejadian. Misalnya, Kitab Yohanes mengaku bahwa pembersihan tempat jemaah dilakukan pada awal pelayanan Yesus. (Yohanes 2:13-14) Tetapi di Kitab Lukas dituliskan pembersihan tempat jemaah dilakukan pada akhir pelayanan. (Lukas 19:45-46). Di satu pihak kita diberitahu bahwa Yesus tinggal dirumah Petrus dan kemudian menyembuhkan orang sakit kusta (Markus 1-29-45). Di pihak lain kita membaca dia menyembuhkan orang sakit kusta dan kemudian masuk ke rumah Petrus (Matius 8:1-2, 8:14). Di satu pihak kita membaca panglima Romawi berbicara langsung dengan Yesus (Matius 8:5); bertolak belakang dengan Kitab Lukas 7:1, panglima Romawi mengirim orang-orangnya untuk berbicara kepada Yesus. Di injil Markus kita diberitahu bahwa Yesus meninggalkan Tyre dan melewati Sidon untuk menuju Laut Galilea (Markus 7:31). Dengan melihat peta Israel, bisa dibuktikan bahwa perjalanan tersebut cukup mustahil terjadi karena Sidon berada di bagian yang berlawanan sama sekali. Orang Kristen akan dengan berat hati mengaku adanya, kesalahan-kesalahan di dalam Alkitab, tetapi juga mereka akan mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan itu tidaklah penting. Mungkin memang tidak penting, tapi pengakuan itu dan kesalahan-kesalahan itu telah membuktikan bahwa Alkitab bukanlah tidak pernah salah, dan jika Alkitab ternyata memuat kesalahan-kesalahan tentang apa yang Yesus perbuat, maka Alkitab juga bisa saja memuat kesalahan-kesalahan tentang apa yang diucapkan oleh Yesus.
Bahkan ketika kita melihat kepada kejadian-kejadian penting dalam kehidupan Yesus, kita menjadi bingung sendiri. Marilah kita lihat dan teliti tentang Perjamuan Terakhir. Menurut kitab Matius, Markus dan Lukas, Perjamuan Terakhir Yesus terjadi pada hari suci Paskah orang Yahudi (Matius 26:17-20, Markus 14:12-17, Lukas 22:7-14). Kitab Yohanes, di pihak yang lain, mengatakan bahwa Perjamuan Terakhir terjadi di hari sebelum Paskah (Yohanes 19:14). Matius, Markus, Lukas dan Yohanes adalah murid Yesus yang berada di Perjamuan Terakhir bersama Yesus. Mereka juga seharusnya adalah murid-murid Yesus yang ingat secara jelas dan menuliskan semua ajaran Yesus. Kalau mereka tidak bisa mengingat hari Perjamuan Terakhir dengan benar, bagaimana kita bisa tau kalau mereka bisa mengingat ajaran Yesus dengan benar?

Yesus Diadili
Sekarang marilah kita lihat bagian paling penting dari kehidupan Yesus, pengadilan terhadap Yesus. Seperti yang dijelaskan di Alkitab, telah bisa kita tebak bahwa pengadilan itu penuh dengan kontradiksi, tetapi pengadilan tersebut juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Pengadilan itu sendiri dan kejadian-kejadian sebelum pengadilan, biasanya dijelaskan oleh orang Kristen sebagai berikut: Yesus masuk ke kota Yerusalem menunggang seekor keledai menyambut sorak-sorai dari penduduk kota tersebut. Kemudian Yesus ditangkap oleh pengikut dari pendeta-pendeta Yahudi yang kemudian memukulnya dan menyerahkannya kepada prajurit Romawi.
Gubernur Romawi, Pontius Pilatus, tidak bisa menemukan kesalahan pada diri Yesus, tetapi para pemuka agama Yahudi tetap memaksakan bahwa Yesus bersalah. Karena tidak mampu membuat keputusan, Pontius Pilatus memutuskan untuk menanyakan kepada orang banyak, lepaskan Yesus? Ataukah lepaskan seorang pengacau Yahudi? Orang-orang berteriak meminta pengacau orang Yahudi itu dilepaskan, dan minta Yesus disalibkan. Akhirnya Pilatus dengan terpaksa menjatuhkan hukuman kepada Yesus.
Apakah benar pengadilan itu berjalan seperti yang diceritakan di atas? Marilah kita lihat. Kita diberitahu bahwa Yesus menunggang keledai masuk ke Yerusalem dan disambut dengan sorak-sorai oleh orang banyak, menjulurkan jubah mereka di atas jalan dan memujinya sebagai raja mereka. (Markus 11:8) Tetapi sehari sesudahnya, orang-orang banyak berteriak menuntut disalibkannya Yesus (Markus 15:12-14). Perubahan dari puji-pujian yang berlebihan menjadi kebencian yang tiba-tiba ini sangatlah sulit untuk dijelaskan. Kemudian Yesus dihadapkan kepada Pontius Pilatus. Alkitab menjelaskan bahwa Pontius Pilatus adalah seorang yang tidak bisa menemukan kesalahan Yesus, tetapi dipaksa oleh pendeta-pendeta Yahudi untuk menyalibkannya. Ini jelas saja tidak mungkin. Kerajaan Romawi sangat terkenal akan pemerintahan yang kuat dan efektif; sistem pengadilan mereka terkenal akan keadilannya dan tentu saja pemerintah Romawi tidak mungkin mengirimkan seorang pemimpin yang penuh bimbang untuk memimpin wilayah yang penuh masalah. Siapa yang bisa percaya bahwa seorang Gubernur Romawi bersedia membiarkan rakyat-rakyatnya untuk membuat keputusan pengadilan dan memberitahu dia bagaimana menjalankan pengadilan yang benar?
Alkitab mengatakan bahwa Pilatus menanyakan orang banyak tentang apakah mereka mau Yesus atau Barabas untuk dilepaskan. (Lukas 23:13-18), dan ketika mereka mneyebut Barabas, Barabas dilepaskan dan Yesus yang dihukum. Kredibilitas telah ditarik sampai ujung terjauh. Kita diminta untuk percaya bahwa seornag gubernur Romawi mau menghukum orang yang dia temukan tidak bersalah dan membebaskan seorang pengacau yang terlibat dalam pembunuhan untuk menggulingkan kekuasaan Romawi. (Lukas 23:19). Orang Romawi tidak menaklukkan dan memerintah Eropa, Afrika, dan Timur Tengah dengan membebaskan pemberontak yang berbahaya. Mereka sangatlah kuat, adil dan tidak pandang bulu terhadap semua yang melawan mereka. Maka bisa kita simpulkan bahwa pernyataan orang Kristen tentang pengadilan Yesus tidaklah meyakinkan.
Kalau kita membaca apa yang Yesus ucapkan di pengadilannya, kita bisa melihat bahwa semua pernyataan tentang pengadilan itu adalah dibuat-buat. Menurut Injil Matius, ketika sedang diadili Yesus “tidak memberikan jawaban” (Matius 27:12) dan “tidak menjawab pertanyaan, bahkan tidak kepada satu tuduhan pun, yang mana mengejutkan sang gubernur.” (Matius, 27:1-4). Dalam pernyataan yang sama sekali bertolak belakang, Kitab Yohanes mengklaim bahwa Yesus menjawab semua tuduhan, menanyakan pertanyaan dan berbicara banyak selama pengadilan. (Yohanes 18:33-37). Mana dari kedua ini yang benar? Apakah Yesus diam? Apakah Yesus berbicara? Seperti halnya kitab Yohanes, kitab Lukas juga mengatakan bahwa Yesus banyak berbicara selama persidangan. Tetapi jika kita membandingkan pernyataan Yohanes dengan pernyataan Lukas, kita menemukan bahwa hampir semua kalimat yang diucapkan dalam ayat-ayat tersebut berbeda. (Bandingkan Yohanes 18:33-37 dengan Lukas 22:66-70). Tentunya, klaim-klaim orang Kristen bahwa Alkitab itu sangat akurat, dokumen sejarah yang bisa dipercaya adalah tidak benar.

Apa Yang Terjadi Kepada Yudas?
Yudas adalah murid yang mengkhianati Yesus. Setelah dia mengkhianati Yesus, diberitakan dia meninggal tak lama kemudian. Di kisah ini, seperti kejadian-kejadian yang lain, Alkitab memberikan kepada kita beberapa cerita yang membingungkan.
Matius 27:3-8 menceritakan Yudas merasa berdosa telah menyerahkan Yesus yang dihukum mati, lalu mengembalikan tiga puluh perak itu kepada imam-imam kepala dan tua-tua, kemudian Yudas menggantung dirinya. Tiga puluh perak itu dipakai oleh mereka sebagai tempat pekuburan orang asing yang disebut Tanah Tukang Periuk.
Di kitab yang lain dilaporkan cerita yang lain pula.  “Yudas ini telah membeli sebidang tanah dengan upah kejahatannya, lalu ia jatuh tertelungkup, dan perutnya terbelah sehingga semua isi pertunya tertumpah ke luar. Hal itu diketahui oleh semua penduduk Yerusalem, sehingga tanah itu mereka sebut dalam bahasa mereka sendiri “Hakal-Dama”, artinya Tanah Darah.” (Kisah Para Rasul 1:18-19)
Apakah Yudas yang membeli ladang itu ataukah para ketua agama? Apakah Yudas menggantung dirinya ataukah dia jatuh dan seluruh isi tubuhnya menyembur keluar?
Kata-kata Terakhir Yesus
Banyak dari ajaran Kristen yang berdasarkan pada satu kata atau kalimat yang mana dikabarkan adalah ucapan Yesus. Untuk membuktikan kebenaran dari kepercayaan mereka, orang-orang Kristen akan cepat-cepat membuka Alkitab mereka dan berkata,”Nah, terbukti Alkitab itu benar!” Mereka berpendapat bahwa semua frase, semua kalimat, semua kata yang ada di dalam Alkitab adalah yang diucapkan oleh Yesus. Kita telah melihat bahwa Injil adalah dokumen yang membingungkan akan apa yang dilakukan dan diucapkan oleh Yesus. Bahkan kenyataannya, kata-kata terakhir Yesus saja juga teringat dengan akurat. Menurut Matius, kata-kata terakhir Yesus adalah: “Tuhanku, Tuhanku, mengapa Engkau meninggalkan  Aku?” (Matius 27:46). Menurut Markus, Yesus hanya berteriak keras-keras lalu meninggal (Markus 15:37). Menurut Lukas, Yesus berkata,”Bapa, ditanganMulah saya serahkan rohku” (Lukas 23:46). Menurut Yohanes, kata-kata terakhir Yesus adalah,”Selesailah sudah.” (Yohanes 19:30). Sekali lagi kita melihat perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan yang membuat kita mustahil untuk percaya.

Kebangkitan
Apakah benar Yesus meninggal dan bangkit di antara orang-orang mati setelah tiga hari? Laporan tentang kejadian yang paling penting  dari empat kitab awal Perjanjian Baru adalah begitu membingungkan dan penuh pertentangan. Sehingga usaha untuk membuat orang yang netral menjadi ragu adalah sangat mudah. Sampai ke tahap ini, para pembaca diminta untuk mempersiapkan Alkitab untuk memeriksa ayat-ayat yang dikutip. Kita akan melihat keempat laporan tentang Kebangkitan Yesus berbeda di hampir semua aspek detil.

Kapankah Kebangkitan itu terjadi?
Keempat dari Injil awal Perjanjian Baru setuju bahwa kebangkitan terjadi di hari Minggu pagi. (Matius 28:1, Markus 16:1, Lukas 24:1, Yohanes 20:1)

Siapa yang pergi ke kubur?
Disinilah masalahnya dimulai. Matius berkata bahwa dua Maria pergi ke kubur (Matius 28:1); Markus berkata bahwa kedua Maria, Salomo pergi ke kubur (Markus 16:1); Lukas berkata kedua Maria, Joanna dan beberapa wanita lain pergi ke kubur (Lukas 24:10); dan Yohanes berkata Maria pergi sendiri (Yohanes 20:1). Orang Kristen mengatakan bahwa Alkitab tidak mengandung kesalahan, tetapi kenyataannya dalam topik ini saja sudah terdapat begitu banyak kesalahan. Mereka mengklaim bahwa orang-orang yang menulis Injil diilhami oleh Tuhan ketika menulis kitab-kitab tersebut, tetapi ternyata ilham itu tidak cukup untuk menyajikan kebenaran.

Apakah ada gempa bumi?
Matius mengatakan bahwa pada saat itu ada “gempa bumi yang luar biasa” (Matius 28:2), tetapi mengapa ketiga kitab-kitab yang lain gagal untuk menjelaskan gempa tersebut? Seharusnya gempa yang luar biasa yang terjadi pada waktu yang begitu penting akan sulit untuk dilupakan. Adalah jauh lebih mungkin kalau Matius hanya mengarang-ngarang cerita dan menambah kesan drama di dalam kitabnya, dalam kata lain dia berbohong.

Ada berapa malaikat?
Yang berikutnya, Matius mengklaim bahwa malaikat yang hadir di hadapan kedua wanita, mendorong pintu dari batu dan duduk di atas pintu tersebut. (Matius 28:2). Dia juga mengatakan bahwa para penjaga kubur itu begitu takut mereka menjadi pingsan (Matius 28:4). Cerita Markus lain lagi. Dia mengatakan bahwa pintunya sudah terbuka terlebih dahulu sebelum wanita-wanita itu sampai, sehingga wanita-wanita itu masuk ke dalam kubur dan melihat malaikat di dalam kubur itu. (Markus 16:4-5). Dan Markus tidak menceritakan adanya penjaga kubur. Cerita Lukas bahkan lebih berdayacipta tinggi. Dia mengatakan bahwa wanita-wanita itu masuk ke dalam dan melihat bukan satu, tapi dua malaikat. (Lukas 24:4).Tentunya ada dari penulis Injil itu yang tidak berkata dengan  benar. Yohanes mengklaim bahwa Maria pergi ke kubur itu sendiri, melihat pintu batu terbuka, lari untuk memberitahu murid-murid yang lain dan ketika murid-murid yang lain masuk ke dalam kubur, Maria menunggu di luar. Setelah semuanya pulang, Maria menunggu di kubur, dan ketika sedang menunggu, kedua malaikat muncul di hadapannya, dan Yesus juga hadir meskipun Maria tidak bisa mengenalnya. (Yohanes 20:12-14). Dan berdasarkan “bukti-bukti” yang diputarbalikkan inilah para orang Kristen berpijak.

Apakah Yesus Tuhan?
Orang Kristen sering berkata bahwa Yesus adalah Tuhan. Sekarang marilah kita lihat apakah ada kebenaran terhadap klaim tersebut. Kalau Yesus adalah Tuhan, sangatlah aneh karena dia tidak pernah mangaku dirinya Tuhan. Tidak ada satu ayatpun di dalam Alkitab di mana Yesus secara pasti berkata,”Sayalah Tuhan.” Orang Kristen akan tidak setuju terhadap hal ini dan mengatakan bahwa Yesus sering menyebut dirinya Anak Allah. Tetapi, Alkitab secara jelas menyatakan bahwa siapapun yang baik dan percaya, layak disebut Anak Allah. Seperti contoh, Yesus menyebut Adam, anak Allah. (Lukas 3:38)
“Dan di tempat, di mana akan dikatakan kepada mereka: “Kamu ini bukanlah umat-Ku,” di sana akan dikatakan kepada mereka: “Anak-anak Allah yang hidup.” (Roma 9:26)
“Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuh-musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Matius 5:44-45)
“Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus.” (Galatia 3:26)
Yesus disebut sebagai Putra Allah yang tunggal (diperanakkan). Bahkan sebutan inipun tidaklah luar biasa. Di Psalms, Tuhan berkata kepada Daud,”Aku menceritakan tentang ketetapan TUHAN; Ia berkata kepadaku: “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.”(Mazmur 2:7). Bahkan kenyataannya, Yesus berkata secara jelas bahwa ketika dia menyatakan dirinya anak Allah, dia tidak memaksudkan dirinya sebagai Tuhan / Allah atau berhubungan dengan Tuhan dalam arti yang sebenarnya. Ketika para pendeta Yahudi mengkritik Yesus yang mengklaim dirinya setara dengan Allah, Yesus berkata:
“Kata Yesus kepada mereka: “Tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat kamu: Aku telah berfirman: Kamu adalah Allah? Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut allah – sedangkan Kitab Suci tidak dapat dibatalkan-, masihkah kamu berkata kepada Dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia: Engkau menghujat Allah! Karena Aku telah berkata: Aku Anak Allah?” (Yohanes 10:34-36)
Orang-orang Kristen akan memprotes bahwa kutipan “anak allah” tidaklah ditulis di dalam huruf besar. Tetapi ketika Yesus mengklaim dirinya, huruf besarlah yang dipakai sehingga tertulis “Anak Allah”. (Catatan dari penterjemah: Kita semua tau bahwa huruf besar dan huruf kecil tidak ada bedanya ketika diucapkan. Misalnya: huruf besar “A” tidak diucapkan dengan membuka mulut lebih besar daripada mengucapkan huruf kecil “a”.) Akan tetapi huruf-huruf besar untuk membuat sebuah frase menjadi luar biasa atau untuk penekanan adalah inovasi dari bahasa Inggris moderen.
(Catatan dari penterjemah: Dan juga inovasi dari bahasa Indonesia dan banyak bahasa di dunia)
Di dalam bahasa Yunani dan Aramaic, bahasa-bahasa yang dipakai untuk menulis Perjanjian Baru, huruf-huruf besar tidak pernah dipakai, sehingga perbedaan “anak allah” dan “Anak Allah” tidak pernah ada. Orang-orang Kristen sangat cerewet terhadap klaim Yesus sebagai Anak Allah, tetapi seperti yang telah kita lihat, sama sekali tidaklah unik ataupun special terhadap klaim ini. Orang-orang Kristen akan berdalih bahwa pemakaian “anak Tuhan” digunakan dalam dua cara – sebagai julukan kepada orang yang suci dan sebagai Anak Allah, Yesus yang tadinya bersama dengan Allah Bapa di surga dan turun ke dunia. Tetapi di dalam julukan Anak Allah kepada Yesus juga tidaklah unik. Alkitab menjelaskan bahwa Allah Bapa mempunyai beberapa putra yang bersama denganNya di surga, yang kemudian turun ke dunia dan hidup bersama manusia seperti yang dilakukan Yesus, turun ke dunia.
“Ketika manusia itu mulai bertambah banyak jumlahnya di muka bumi, dan bagi mereka lahirlah anak perempuan, maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka, Berfirmanlah TUHAN: “Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia, karena manusia itu adalah daging, tetapi umurnya akan seratus dua puluh tahun saja.” (Kejadian 6:1-3)
Di dalam Alkitab, Jesus dipanggil sebagai Anak Manusia lebih dari 80 kali Akan tetapi di Alkitab juga tercantum bahwa di mata Allah Bapa, Anak Manusia tidaklah lebih dari sekedar seekor ulat. (Ayub 25:6). Bagaimana mungkin orang-orang Kristen menganggap Anak Manusia sebagai Tuhan sedangkan Alkitab sendiri menyatakan Anak Manusia tidak lebih dari seekor ulat?
Kemudian orang-orang Kristen akan bersikeras bahwa Yesus dipanggil Mesias, tapi sekali lagi tidaklah aneh untuk dipanggil Mesias. Di dalam bahasa Ibrani “mashiah” yang mana bahasa Yunaninya adalah “yang diurapi”, dan istilah ini digunakan untuk menyatakan siapa saja yang dikirim oleh Tuhan Allah untuk membantu orang Israel. Bahkan seorang yang bukan keturunan Yahudi juga bisa dipanggil Mesias. Alkitab bahkan memanggil penyembah berhala Raja Persia Sirus sebagai Mesias karena dia telah membiarkan orang-orang Tuhan untuk kembali ke tanah asal mereka. (Yesaya 45:1). Hanya karena Yesus dipanggil Mesias tidak membuktikan bahwa Yesus adalah Tuhan. Kenyataannya, di seluruh isi Alkitab, Yesus selalu menekankan dengan jelas bahwa dia bukanlah Tuhan. Ketika seseorang memanggil Yesus “seorang guru yang baik” Yesus berkata: “Jawab Yesus; “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain daripada Allah saja.” (Lukas 18:19)
Kalau Yesus benar-benar adalah Tuhan, lalu mengapa dia menyangkal bahwa dia itu baik? Kita diberitahu bahwa Yesus berdoa, akan tetapi kalau Yesus adalah Tuhan, mengapa dia perlu berdoa kepada dirinya sendiri? Dan ketika Yesus berdoa, dia berkata kepada Tuhan,”bukan keinginankulah, tetapi keinginanMu” (Lukas 22:42). Cukup jelaslah sekarangYesus telah menyatakan dengan jelas adanya perbedaan antara keinginan Tuhan dengan keinginannya. Yesus berkata bahwa tidak seorangpun pernah melihat Tuhan. (Yohanes 1:18), yang mengartikan bahwa ketika orang-orang melihat dia, mereka tidaklah sedang melihat Tuhan. Sekali lagi Yesus berkata dia tidak bisa melakukan segala sesuatu tanpa Tuhan.
“Maka Yesus menjawab mereka, kata-Nya: “Aku berkata kepadamu: sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dir-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak.” (Yohanes 5:19)
“Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku.” Yohanes 5:30
“Maka kata Yesus: “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa Akulah Dia, dan bahwa Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri, tetapi Aku berbicara tentang hal-hal, sebagaimana diajarkan Bapa kepada-Ku.” (Yohanes 8:28).
Kalau Yesus adalah Tuhan, dia bisa berbuat apa saja yang dia inginkan, dan dalam ayat-ayat di atas, dan lusinan ayat yang lain dia membuat jelas bahwa dia dan Tuhan tidak sama. “Bapa lebih besar daripada Aku” (Yohanes 14:28) menjelaskan dengan sejelas-jelasnya bahwa dia tidaklah sebesar Tuhan, maka dia berbeda daripada Tuhan. Dia berkata: “Setiap orang yang melawan Anak Manusia, ia akan diampuni; tetapi barangsiapa menghujat Roh kudus, ia tidak akan diampuni.” (Lukas 12:10)
Sekarang, kalau Yesus dan Roh Kudus adalah sama, untuk mengutuk yang satu sama artinya dengan seseorang telah mengutuk yang lain. Di dalam Alkitab, kita diberitahu bahwa tidak ada seorangpun yang lahir daripada wanita bisa menjadi suci. (Ayub 25:4). Yesus dilahirkan dari seorang wanita, ibunya Maria, maka tentunya Yesus itu adalah tidak suci. Kalau Yesus tidak suci, bagaimana mungkin Yesus itu Tuhan?
Kita diberitahu bahwa Yesus meninggal selama 3 hari sebelum naik ke surga. Bagaimana mungkin Tuhan bisa mati? Siapa yang menjaga alam semesta ini ketika dia mati? Yesus berkata bahwa pada akhir dunia ini, dia akan duduk di sebelah kanan Allah Bapa untuk mengadili dunia ini (Lukas 22:69). Jika Yesus dan Tuhan adalah sama, bagaimana mungkin? Telah cukup jelas bahwa keduanya itu terpisah dan berbeda. Dan sekali lagi Daud digambarkan duduk di sebelah kanan Bapa. Jadi untuk bisa mengadili, seseorang tidaklah harus menjadi Tuhan. (Mazmur 110:1) Kita diberitahu bahwa Yesus berada di antara manusia dan Tuhan.
“Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.” (I Timotius 2:5) Ayat tersebut telah jelas menyatakan bahwa Yesus bukanlah Tuhan, dan kalau dia adalah Tuhan, bagaimana mungkin dia berdiri di antara Tuhan dan manusia? Ayat tersebut juga mengatakan bahwa Yesus adalah seorang manusia (lihatlah juga Kisah Para Rasul 17:30-31).
Di dalam buku Matius dan Lukas (Matius 1:16, Lukas 3:23) kita diberitahu nama-nama dari ayah Yesus, ayah dari ayah Yesus, dan seterusnya sampai ke beberapa generasi sebelumnya. Kalau Tuhan benar-benar adalah ayah Yesus, mengapa di Alkitab tercantum nama-nama nenek moyang Yesus dari pihak ayah Yesus? Orang-orang Kristen telah mengklaim untuk selamanya bahwa Yesus itu Tuhan dan pada saat yang sama dia juga adalah anak Tuhan. Bagaimana mungkin bisa terjadi? Bagaimana mungkin seorang ayah bisa menjadi anaknya dan dirinya sendiri pada saat yang bersamaan? Dan untuk membuat hal lebih membingungkan lagi, Roh Kudus di bawa ke dalamnya, dan kita diminta untuk percaya bahwa Yesus, Tuhan dan Roh Kudus adalah berbeda tetapi sama.
Klaim-klaim orang-orang Kristen bahwa Yesus adalah Tuhan bertentangan dengan apa yang telah ditulis di Alkitab. Ide bahwa Yesus adalah Tuhan sangat berlawanan dengan akal sehat dan menimbulkan masalah-masalah logika. Kalau saja kita melihat Yesus seperti apa adanya, seorang nabi dan pembaharu, semua problem di atas tidak mungkin muncul.

Apakah Yesus Sempurna?
Kalau seorang guru agama  adalah sempurna, kita akan mengharapkan tingkah laku dari orang yang sempurna itu haruslah juga sempurna, tidak mungkin bisa dipersalahkan. Ajarannya  juga hendaknya sangat manusiawi dan bisa dijalankan, dan adanya kemantapan (konsistensi) antara apa yang di ajarkan dan apa yang mereka sendiri perbuat. Yesus, tentunya, menyangkal bahwa dia itu sempurna. (Lukas 18:19) akan tetapi meskipun telah ada penyangkalan ini yang disertai oleh bukti-bukti Alkitab, orang-orang Kristen tetap saja menyatakan bahwa Yesus itu sempurna. Mereka harus menyatakan Yesus sempurna, karena mereka telah salah mengartikan, di mana bagi mereka Yesus adalah Tuhan – bagaimana mungkin Tuhan itu tidak sempurna? Orang-orang Buddha percaya bahwa Yesus adalah seorang manusia yang baik, seperti halnya juga para pendiri agama-agama lain di dunia juga adalah orang yang baik. Tetapi Yesus tidaklah mencapai penerangan sempurna seperti Sang Buddha, tentunya Yesus tidaklah sempurna. Seperti orang-orang lain yang tidak mencapai kesunyataan, Yesus terkadang berbuat kesalahan, beberapa hal yang dia ajarkan itu tidak bisa diterapkan, dan terkadang dia sendiri gagal untuk menjalankan apa yang dia ceramahkan kepada orang lain. Marilah kita buktikan sendiri.
Ajaran-ajaran etika Yesus sering digambarkan sebagai “sangat agung”, “mulia”, “sempurna sama sekali” dan lain-lain. Tapi apakah benar? Marilah kita melihat ajarannya tentang perceraian. Di dalam Perjanjian Lama, perceraian diperbolehkan atas dasar beberapa keadaan, yang tentunya ketika dua orang sepasang telah tidak lagi saling mencintai atau sudah saling tidak cocok, adalah hal yang paling manusiawi. Tetapi Yesus malah mengambil pandangan yang sangat ekstrim terhadap perceraian, dengan mengatakan bahwa perceraian itu diperbolehkan atas dasar perzinahan: “Telah difirmakan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.” (Matius 5:31-32)
Ajaran yang buruk ini telah mengartikan bahwa hingga akhir-akhir ini di negara-negara Kristen, jutaan pasangan telah terperangkap di dalam rumah tangga yang tidak bercinta dan tidak bahagia, tetapi tidak boleh bercerai. Ini juga telah berarti bahwa begitu banyak wanita yang akhirnya bisa bercerai dari suaminya tanpa berzinah, dicap sebagai orang yang melakukan perzinahan kalau mereka menikah lagi. Ajaran Yesus yang satu ini saja telah menyebabkan banyak penderitaan dan kesakitan hati yang tidak bisa dilukiskan. Sebuah contoh lain dari ajaran Yesus yang jauh dari sempurna ini adalah sikapnya terhadap uang. Yesus tampaknya memiliki kebencian terhadap orang kaya: “Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu. Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah kamu, yang sekarang ini tertawa, karna kamu akan berdukacita dan menangis.” (Lukas 6:24-25)
Memang benar orang kaya itu terkadang serakah, tidak berpikir panjang (seperti halnya juga ada orang miskin yang begitu). Tetapi Yesus tidak menyatakan kalau orang kaya itu serakah dan tidak berpikir panjang. Orang-orang kaya dikutuk hanya karena mereka kaya. Pernah sekali, seorang pria muda meminta jawaban dari Yesus tentang bagaimana seseorang bisa mendapatkan kehidupan abadi, Yesus akhirnya berkata: “Kata Yesus kepadanya: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, buanglah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.”" (Matius 19:21)
Yesus bahkan sampai mengatakan sejauh ini, bahwa adalah mustahil bagi orang kaya untuk masuk surga.
“Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sekali lagi aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.” (Matius 19:23-24)
Tentu saja orang-orang Kristen tidak pernah memperhatikan ucapan Yesus yang satu ini, karena jika benar mereka memperhatikan dan menjalankan ajaran Yesus ini, semua negara Kristen di dunia ini akan runtuh ekonominya, dan semua kualitas baik tentang kewirausahaan yang menghasilkan kebaikan, akan musnah. Ajaran yang tidak bisa dijalankan dan tidak adil dari Yesus ini sangatlah berbeda dengan sikap Sang Buddha terhadap kekayaan.
Apakah itu kebahagiaan terhadap pemilikan? Di dalam ini, seorang kepala keluarga memiliki kekayaan yang didapat dengan usaha yang penuh tenaga, yang didapat dari kekuatan tangan dan keringat dari kening, yang didapat secara adil dan patuh hukum. Ketika dia memikirkan tentang hal ini, dia merasakan kebahagiaan dan kepuasan.
Dan apakah itu kebahagiaan akan kekayaan? Di dalam ini, seorang kepala keluarga mempunyai kekayaan yang didapat secara adil dan patuh hukum, dan dengan kekayaannya itu, dia melakukan banyak perbuatan baik. Ketika dia memikirkan tentang hal ini, dia merasakan kebahagiaan dan kepuasan. Dan apakah itu kebahagiaan akan kebebasan dari hutang? Di dalamnya, seorang kepala rumah tangga tidak berhutang kepada siapapun, besar ataupun kecil, dan ketika dia berpikir tentang hal ini, dia merasakan kebahagiaan dan kepuasan. (Anguttara Nikaya, Book of Fives, Sutta No.41)
Beliau juga mengerti bahwa dengan tingkah laku yang benar, orang-orang yang kaya dapat melakukan hal-hal yang baik dengan uang yang mereka dapat.
Dengan kekayaan yang didapat dari kerja yang penuh tenaga, didapat dari kekuatan tangan, dan keringat dari kening secara patuh hukum dan adil, seorang murid yang mulia membuat dirinya, ibu dan ayahnya, istri dan anak-anaknya, pembantunya dan orang yang bekerja kepadanya dan teman-teman serta kenalannya senang dan bahagia – dia menciptakan kebahagiaan yang sempurnna. Inilah kesempatan pertama yang diraih olehnya, digunakan untuk kebaikan dan dipakai secara benar. (Anguttara Nikaya, Book of Fives, Sutta No.41)
Maka, daripada tidak mengikutsertakan semua orang yang kaya dari kehidupan beragama seperti yang dilakukan Yesus, Sang Buddha mengajarkan mereka untuk menghasilkan uang dengan jujur dan menggunakan kekayaan mereka untuk kepentingan orang banyak dan masyarakat pada umumnya.
Akan tetapi ajaran Yesus yang telah menghasilkan lebih banyak masalah daripada ajaran-ajarannya yang lain adalah pernyataan yang dia buat bahwa dia dan hanya dia yang bisa memberikan penyelamatan. (Yohanes 14:6). Sehingga tak bisa digugat lagi dari pernyataan di ayat di atas bahwa semua agama lain hanya akan mengakibatkan satu-satunya alternatif lain – neraka. Pernyataan ini juga telah mengartikan bahwa agama-agama lain mengajarkan kejahatan. Secara menyedihkan sekali, pernyataan yang dibuat oleh Yesus ini telah menjadi akar ciri khas utama dari orang-orang Kristen – tidak toleransi. Orang-orang Kristen selalu mempersamakan orang-orang yang tidak percaya kepada Yesus sebagai orang jahat, dan telah menuduh orang yang tidak percaya sebagai orang yang tidak bertuhan, orang jahat, orang keras kepala, penyembah berhala, orang-orang tercela, pengikut ajaran nabi-nabi palsu, pemuja setan. (Lihatlah 2 Petrus 2:1-22)
“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-ornag yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakan terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya? Apakah hubungan bait Allah dengan berhala? Karena kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: “Aku akan diam bersama-sama dengan mereka, dan hidup di tengah-tengah mereka, dan aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku.” (2 Korintus 6:14-16)
Paulus menanyakan, kemiripan apa yang muncul antara orang Kristen dan seorang Buddha? Berhubung Paul adalah seorang penginjil yang fundamental (keras), bahwa kenyataan ajaran Buddhis yang penuh kasih sayang, belas kasihan, keikhlasan, kesabaran, kerendahan hati, kejujuran seperti yang Paulus sendiri perbuat, tidak ada artinya sama sekali. Hanya karena seorang beragama Buddha tidak percaya bahwa Yesus itu Tuhan, telah menganggap orang Buddhis tersebut sebagai penuh akan kejahatan dan kegelapan; seorang pemuja setan yang harus dihindari, dan patut masuk neraka.
Ini adalah tragedi besar tentang Kristiani – semakin kuat iman orang Kristen kepada Yesus, biasanya orang itu semakin memihak, semakin fanatik dan semakin tidak toleransi. Sangatlah melegakan bagi kita umat Buddhis untuk bisa berlindung kepada Buddha, dan masih bisa menghormati dan mengagumi Lao Tzu, Nabi Muhammad, Krishna, Guru Nanak, dan lain-lain. Alangkah menyenangkan untuk bisa berkomunikasi dengan orang lain tanpa harus punya keinginan untuk mengajak pindah agama. Sungguh mulia untuk bisa turut bergembira melihat kebahagiaan orang lain terhadap agama mereka masing-masing. Orang Kristen tidak toleransi karena mereka terobsesi kepada Yesus dan menyingkirkan semua yang tdiak percaya kepadanya. Buddhisme adalah ajaran yang toleran, karena Buddhisme mengagungkan kebijaksanaan dana belas kasihan, dan dapat hidup damai dengan siapapun, apapun agama mereka, yang melaksanakan kualitas kebijaksanaan, belas kasihan, dan toleransi.

Mukjizat-mukjizat
Beberapa hal yang paling kacau yang tentang Yesus adalah mukjizat-mukjizat yang dia katakan bisa dia lakukan. Salah satu yang paling terkenal adalah membangkitkan Lazarus dari kematian. Lazarus telah meninggal setidaknya empat hari dan mungkin telah di surga, ketika keluarganya sedang sedih dan berduka. Dengan membangkitkan dia dari kematian, Yesus memang telah menunjukkan kekuatannya, tetapi apa yang Lazarus dan keluarganya dapat dari kebangkitan Lazarus itu? Lazarus dipindahkan dari surga kembali ke “lembah penuh air mata” ini hanya untuk mati sekali lagi suatu saat di masa yang akan datang, dan keluarganya akan harus berduka dan bersedih sekali lagi. (Yohanes 11:1-4)
Untuk orang Buddhis, keajaiban seperti ini, meskipun kalau benar-benar terjadi, tampaknya tidak perlu, dan bahkan dianggap kejam. Hal yang lebih bisa diterapkan dan manusiawi adalah cara pandang Sang Buddha tentang kematian. Pada suatu kesempatan, seorang ibu muda yang bernama Kisagotami datang kepada Buddha dengan membawa anaknya yang telah mati, hatinya terkacaukan oleh duka yang dalam, dan memohon kepada Buddha untuk memberi obat kepada anaknya. Penuh dengan belas kasihan, Sang Buddha meminta ibu tersebut untuk pergi dan mendapatkan biji mustard dari sebuah rumah yang tidak pernah ada satu anggota keluargapun yang meninggal. Dalam proses mencari biji mustard tersebut, Kisagotami secara berangsur-angsur sadar bahwa kematian adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dan dia dapat meenguasai kedukaannya. (Dhammapada Atthakatta, Book 8,13).
Yesus mempertontonkan keajaiban yang tampaknya membuat orang tidak mendapatkan apapun dari keajaiban itu. Sang Buddha dengan lembut dan pintarnya mengarahkan orang untuk menjadi mengerti. Inilah yang diartikan oleh Sang Buddha bahwa pendidikan adalah keajaiban tertinggi. (Digha Nikaya, Sutta No.11)
Mukjizat Tuhan yang lain di mana Yesus tampaknya tidak memberikan pemikiran yang matang terhadap akibat dari apa yang dia perbuat adalah keajaiban yang katanya diperbuat oleh Yesus di Godara. Seorang telah dirasuki oleh setan, dan sebelum Yesus mengusir setan tersebut, iblis-iblis meminta Yesus apakah Yesus bersedia mengirim iblis ke peternakan babi terdekat. Yesus mengabuli permintaan iblis tersebut dan mengirim iblis-iblis tersebut ke dalam tubuh babi-babi, yang kemudian lari-lari kerasukan menuju tebing danau dan menceburkan diri. (Markus 5:1-13). Orang yang dirasuki setan itu tentunya sangat berterimakasih kepada apa yang dilakukan Yesus, tetapi ini membuat kita berpikir, apa yang dipikirkan oleh pemilik babi-babi tersebut. Dengan matinya ternak bagi tersebut, tentunya menimbulkan kesulitan keuangan bagi pemilik babi tersebut.  Tidaklah mengherankan, kita dikabarkan bahwa setelah kejadian tersebut, orang-orang dari desa terdekat datang kepada Yesus dan memohon kepadanya untuk meninggalkan daerah tersebut. (Markus 5:17). Perhatikanlah bahwa Matius juga menceritakan cerita yang sama tetapi telah menambah bumbu cerita dengan menyatakan bahwa bukan satu tetapi dua orang yang dirasuki iblis. (Matius 8:28-32)
Apa yang dianggap keajaiban ini juga telah menonjolkan ketidakpedulian total Yesus terhadap alam. Dia bisa saja melenyapkan iblis-iblis tersebut tetapi malah memilih untuk menyingkirkan iblis denga cara yang paling kejam, yaitu dengan meyebabkan kematian dari mahluk-mahluk yang tidak bersalah. Dalam kesempatan lain, dia menggunakan tenaga ajaibnya untuk membunuh sebatang pohon ara hanya karena pohon ara tersebut tidak bisa berbuah. (Matius 21:18-20). Ternyata dia tidak pernah memikirkan bahwa binatang lain bisa saja memakan daun dari pohon tersebut, burung-burung bisa bersangkar di dahan-dahannya, pelancong-pelancong bisa beristirahat dan berteduh di bawah pohon itu, dan akar pohon tersebut bisa mencegah erosi tanah yang disebabkan oleh hujan dan angin – yang mungkin menjelaskan mengapa pohon itu tidak dibunuh oleh orang-orang. Tidak ada satupun keuntungan yang didapat dari membunuh pohon – pembunuhan ini tidak lebih dari sekedar perusakan yang sia-sia.
Di saat di mana mukjizat-mukjizat yang dilakukan oleh Yesus itu tidak ada gunanya, mukjizat yang lain tampaknya telah muncul dari hal-hal yang bodoh. Suatu ketika, Yesus diundang ke perjamuan pernikahan. Setelah beberapa saat, tidak ada anggur yang tersisa untuk diminum, Yesus mengubah beberapa kendi air menjadi anggur. (Yohanes 2:1-11). Tidak diragukan lagi, tuan rumah sangatlah berterimakasih karena tidak harus pergi untuk membeli alkohol lagi, tapi mukjizat ini terlihat sedikit tidak pantas bagi Tuhan untuk turun menjadi manusia, datang ke dunia dan menggunakan kekuatannya demi orang tidak kehabisan minuman di saat sedang berpesta.

Ketidakteraturan Ajaran
Apa yang telah kita ucapkan di atas membuktikan bahwa meskipun ada beberapa ajaran Yesus yang baik, banyak sekali yang kejam, tidak bisa diterapkan, dan di dalam beberapa kasus, bodoh. Dan mungkin tidaklah mengherankan bahwa bukan orang-orang Kristen saja yang gagal menjalankan ajarannya, tetapi Yesus sendiri juga sering gagal menjalankan ajarannya sendiri. Dia mengajarkan kita untuk mencintai tetangga kita, tetapi dia tampaknya mempunyai masalah yang besar dalam penerapan ajarannya sendiri. Dia yakin bahwa ajarannya bisa membawa manusia ke surga dan dia juga yang secara khusus memerintahkan murid-muridnya untuk tidak mengajarkan agama Kristen kepada siapapun selain mengajarkan kepada kaumnya sendiri, orang Yahudi.
“Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia berpesan kepada mereka: “Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” (Matius 10:5-6)
Ketika seorang wanita miskin yang sangat bersedih datang kepada Yesus memohon pertolongan, Yesus menolak untuk menolong hanya dikarenakan wanita miskin itu bukan seorang Yahudi. Mengajarkan Injil kepada orang Kanaan, kata Yesus, adalah seperti mengambil makanan dari anak kecil dan melemparkannya kepada anjing-anjing. (Catatan dari penterjemah: Dalam hal ini makanan itu diumpamakan sebagai ajaran Kristen. Dan anak-anak yang makannya dirampas itu adalah orang kaumnya sendiri, orang Yahudi. Dan anjing-anjing yang dimaksud adalah orang Kanaan. Seperti yang bisa kita lihat dari ayat berikut ini)
“Maka datanglah seorang perempuan Kanaan dari daerah itu dan berseru: “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita.” Tetapi Yesus sama sekali tidak menjawabnya. Lalu murid-muridNya datang dan meminta kepada-Nya: “Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak.” Jawab Yesus: “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” Tetapi perempuan itu mendekat dan menyembah Dia sambil berkat: “Tuhan, tolonglah aku.” Tetapi Yesus menjawab: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” (Matius 15:22-26)
Hanya setelah didesak oleh murid-muridnya, Yesus akhirnya memutuskan untuk membantu wanita itu. Itukah yang dinamakan mencintai tetanggamu sendiri? Yesus mengajarkan bahwa kita harus mencintai musuh kita, tetapi dia kelihatannya mengalami kesulitan dalam melakukan hal tersebut. Ketika seorang Faris mengkritik Yesus, dia membalasnya dengan semburan kata-kata kasar yang berisikan kutukan dan hujatan. (Dapat di baca di Yohanes 8:42-47, Matius 23:13-36) (Catatan dari penterjemah: Kalau Yesus yang dianggap Tuhan oleh orang Kristen sudah tidak bisa mencintai tetangga sendiri, bagaimana bisa Yesus mencintai musuh? Sesuatu yang mustahil! Dan buktinya Yesus membenci tetangganya sendiri, dan juga musuhnya sendiri. Apakah karena dirinya Tuhan (bagi orang Kristen), dia tidak bisa disalahkan dari kebenciannya kepada musuh maupun tetangga? Kalau guru yang mengajarkan saja tidak bisa mengamalkan sendiri, bagaimana murid bisa mengamalkan dengan baik? Teman-teman Buddhis, patutkah Anda dengan mudah dihasut untuk pindah masuk ke dalam ajaran agama yang membenci?)
Yesus berkata kita hendaknya tidak menghakimi orang lain (Matius 7:12) dan dia juga bilang bahwa dia sendiri tidak menghakimi siapapun (Yohanes 8:15). Tapi terlepas dari apa yang dia sendiri ajarkan, dia terus-menerus menghakimi dan mengutuk orang lain, bahkan dalam cara yang kasar dan dibesar-besarkan. (Yohanes 8:42-47, Matius 23:13-16)
Supaya sesuai dengan Perjanjian Lama, Yesus mengajarkan kita untuk menghormati orang tua kita (Matius 19:19) tetapi pada kesempatan yang lain dia mengajarkan kita untuk berbuat yang sebaliknya.
“Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” (Lukas 14:26)
Ajaran tersebut meminta bahwa untuk mencintai Yesus, kita harus bersedia untuk membenci orang lain, bahkan orang tua kita sendiri. Sangatlah bertentangan dengan anjuran untuk menghormati orang tua – apalagi untuk mencintai tetangga! Pernah sekali ibu Yesus dan saudara-saudaranya datang untuk melihat dia ketika dia sedang berkotbah, malahan ibunya dan saudara-saudaranya di tolak secara kasar. “Lalu datanglah ibu dan saudara-saudara Yesus. Sementara mereka berdiri di luar, mereka menyuruh orang memanggil Dia. Ada orang banyak duduk mengelilingi Dia, mereka berkata kepada-Nya: “Lihat, ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar, dan berusaha menemui Engkau.” Jawab Yesus kepada mereka: “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah  ibu-Ku.” (Markus 3:31-35)
Suatu ketika ibunya berbicara kepadanya, dia mencela ibunya: “Kata Yesus kepadanya: “Mau apakah engkau kepada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” (Yohanes 2:4) Dan Yesus yang melakukan ini kepada orang tuanya, malahan mengutuk orang Farisi yang mengajarkan orang untuk menghormati ayah dan ibu. (Matius 15:3-6, Markus 7:10-13)
Di dalam beberapa contoh, adalah tidak mudah untuk menuduh Yesus gagal untuk menjalankan apa yang dia kotbah atas dasar ajarannya sendiri yang saling bertentangan. Orang-orang Kristen sudah terbiasa dengan konsep pemikiran bahwa dia adalah “Yesus yang lemah lembut”, karena ajarannya yang “kalau ditampar pipi kiri, diberi pipi yang kanan” dan “untuk tidak menolak orang jahat” (Matius 5:39). Dan tentu saja, Yesus kelihatannya kadang-kadang telah melakukan apa yang dia ajarkan. Tetapi pada kesempatan-kesempatan yang lain, dia jelas-jelas menyatakan peranannya yang kejam.
“Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan ibunya, menantu perempuan ibu mertuanya, dan musuh-musuh ialah orang-orang seisi rumahnya.” (Matius 10:34-36)
Jelas sekali bahwa Yesus tidak melihat adanya kesalahan untuk menggunakan kekerasan, kalau diperlukan. Ketika dia melihat orang berdagang di depan rumah ibadah, Yesus kehilangan kendali emosi dan menyerang dengan kekerasan.
“Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya.” (Yohanes 2:15)
Sebelum Yesus ditangkap, Yesus meramalkan akan terjadi keributan, maka dia menyuruh murid-muridnya untuk bersiap-sedia dengan menggunakan senjata.
“Jawab mereka: “Suatupun tidak.” Kata-Nya kepada mereka: “Tetapi sekarang ini, siapa yang mempunyai pundi-pundi, hendaklah ia membawanya, demikian juga yang mempunyai bekal; dan siapa yang tidak mempunyainya hendaklah menjual jubahnya dan membeli  pedang.”" (Lukas 22:36)
Ketika dia ditangkap, terjadi pertengkaran yang mana “salah satu dari teman Yesus mencabut pedangnya dan menyerang pembantu pemuka agama dengan memotong telinganya.” (Matius 26:51). Sangatlah sulit bagi orang Buddha untuk mempersatukan kelakuan kasar tersebut ke dalam ide kesempurnaan. Adalah berlawanan dengan seluruh ide tentang kesempurnaan moral, bagi suatu ajaran untuk membalas melawan orang yang menuduh (dirinya), untuk kehilangan kendali amarah, dan mendukung orang lain untuk membawa senjata. Sampai ke tahap ini, adalah ide yang baik untuk menjelaskan bahwa meskipun banyak dari ajaran-ajaran Yesus yang tidak pantas, dan tidak masuk akal, ada juga ajaran Yesus yang sangat baik. Ajaran Yesus tentang kasih sayang, untuk memaafkan, kerendahan hati, dan pelayanan terhadap orang sakit dan miskin pantas mendapat pujian tertinggi. Tetapi semua ajaran yang baik dari Yesus ini tidaklah unik. Ajaran-ajaran baik seperti yang diajarkan Yesus juga bisa ditemukan di dalam ajaran Sang Buddha, Konghucu, Mo Tzu, Mahavira, Guru Nanak, dan lain-lain, terkadang dengan penjelasan yang lebih menyeluruh. Guru-guru jaran-ajaran di atas juga telah ada ratusan tahun sebelum Yesus. Apa yang baik di dalam ajaran Yesus tidaklah unik. Dan apa yang unik di dalam ajaran Yesus tidaklah tentu baik.
Orang-orang Kristen sulit untuk mengerti mengapa orang-orang beragama Buddha dan pemeluk ajaran lain tidak bisa menerima Yesus sebagai Tuhan, dan penyelamat seperti mereka sendiri telah menerima Yesus. Akan tetapi setelah mengetahui kehidupan dan ajaran Sang Buddha – seorang yang tersenyum terhadap cercaan,tetap tenang ketika diganggu dan selalu menolak kekerasan – alasan mengapa banyak yang menolak Yesus itu menjadi jelas.
============================================================
Bab VI
Kritik Terhadap Isi Alkitab
Ajaran agama Kristen adalah agama yang berdasarkan buku (kitab). Tidak ada satu buktipun bagi klaim-klaim dan ajaran agama Kristen selain bukti yang tertulis di Alkitab. Dan kenyataan di atas telah membuat Alkitab sebagai satu-satunya pegangan bagi agama Kristen. Di masa lalu, juga di masa sekarang, orang-orang Kristen telah mengutip banyak isi Alkitab dan saling berdebat tentang arti dari potongan-potongan kalimat dan kata, dan pada saat yang sama mencoba meyakinkan orang non-Kristen akan kebenaran buku yang sesama orang Kristen sendiri tidak bisa saling setuju. Tetapi satu hal yang semua orang Kristen saling setuju, yaitu: Alkitab adalah Firman Tuhan – bukan saja Alkitab berisi Firman Tuhan, tetapi Alkitab ADALAH Firman Tuhan sendiri yang tidak mungkin salah, pembuktian lengkap dari Tuhan kepada manusia. Kita akan membuktikan kebenaran (kesalahan) klaim ini dan membuktikan bahwa seperti klaim-klaim yang lain, klaim yang satu ini juga memiliki isi pokok yang sedikit sekali.

Apakah Alkitab adalah Firman Tuhan?
Kalau Alkitab adalah Firman Tuhan, tentunya ini hanya akan membuktikan bahwa Tuhan adalah mahluk yang sangat aneh. Seorang akan mengharapkan bahwa Sang Pencipta alam semesta ini hanya akan berbicara kepada manusia kalau hal yang diucapkan itu penting dan sangat berpengaruh kepada seluruh isi ciptaanNya. Ternyata tidak demikian halnya. Kitab-kitab Tawarikh misalnya, terdiri dari nama-nama orang yang kita tahu sedikit atau tidak tahu sama sekali tentang mereka, dan orang-orang tersebut sudah meninggal ribuan tahun yang lalu. Tidak ada perintah dari Tuhan, tidak ada prinsip-prinsip etika, tidak ada petunjuk tentang bagaimana hidup secara benar atau petunjuk menyembah Tuhan – yang ada hanyalah halaman demi halaman dari nama-nama yang tidak berguna. Mengapa Tuhan mau membuang waktuNya sendiri dan waktu kita untuk hal seperti ini? Dan bagaimana pula dengan Kidung Agung? Kitab ini berisi tentang koleksi-koleksi puisi erotis cinta. Sekali lagi, dengan dunia yang penuh dengan kekacauan, orang sudah selayaknya menganggap bahwa Tuhan bisa mengajarkan sesuatu yang lebih penting untuk diajarkan kepada manusia daripada hal-hal di atas.
Kemudian kita tiba kepada topik Injil yang membabarkan kehidupan Yesus. Mengapa Tuhan memutuskan untuk mewahyukan seluruh kehidupan Yesus sampai empat kali? Dan mengapa dia telah mewahyukan keempat buku yang telah jelas berbeda dan saling bertentangan terhadap satu cerita? Tidak seperti orang-orang Kristen, ahli-ahli sejarah telah memberikan jawaban yang sangat masuk akal terhadap pertanyaan-pertanyaan ini. Alkitab bukanlah wahyu dari Tuhan, melainkan sebuah kumpulan yang tidak rapi yang ditulis oleh orang-orang yang berbeda, dalam jangka waktu yang berabad-abad, yang telah di ganti isinya, diedit (diperbarui) dari waktu ke waktu, yang bermuatkan cerita-cerita, urutan keturunan (silsilah), dongeng-dongeng perumpamaan, tulisan-tulisan suci dan duniawi. Alkitab bukanlah wahyu dari Tuhan dan sama saja dengan buku-buku cerita-cerita pengembaraan, Ramayana, atau Mahabharata yang mana lebih mirip dengan Alkitab.

Apakah Alkitab Diwahyukan?
Orang-orang Kristen mengklaim bahwa meskipun kitab-kitab di dalam Alkitab ditulis oleh beberapa orang, orang-orang yang menulis Alkitab itu diwahyukan dan dituntun oleh Tuhan di saat mereka menulis. Sementara orang-orang Kristen modern membuat klaim seperti ini, penulis-penulis asli dari kitab-kitab tersebut tidak pernah berkata demikian. Contohnya Lukas pada awal kitabnya menuliskan:
“Teofilus yang mulia, Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti disampaikan kepada kita oleh mereka, yang semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu.” (Lukas 1:1-3)
Tidak ada tertulis sekalipun bahwa dia dipenuhi oleh roh Allah sebelum ataupun sewaktu menuliskan kitab itu. Dia hanya mengatakan bahwa rekan yang lainnya telah menulis tentang kehidupan Yesus, maka Lukas sendiri berpikir bahwa mungkin adalah ide yang bagus untuk menuliskan sesuatu juga. Kalau benar dia diwahyukan oleh Tuhan untuk menulis ajaran Yesus, mengapa tidak dia katakan saja demikian? Tetapi klaim tentang inspirasi (wahyu) bukan saja tidak bisa dibenarkan, klaim akan wayhu juga menimbulkan sebuah masalah yang serius. Orang Kristiani selalu mengklaim bahwa di dalam doa, Tuhan berbicara kepada mereka, memberikan mereka nasehat dan menuntun perbuatan mereka. Mereka mengklaim juga bahwa suara Tuhan sangat langsung, sangat jelas dan sangat nyata. Alkitab memuat firman-firman Allah kepada Musa, Yosua, Matius, Markus, Petrus dan Paulus, lalu mengapa firman-firman yang Dia sampaikan kepada orang Kristen moderen juga diikutsertakan? Orang-orang Kristen akan menolak keras terhadap usul ini yang hanya menjelaskan kepada kita bahwa mereka sebenarnya tidak begitu yakin akan kata-kata yang mereka dengar bahwa kata-kata itu berasal dari Tuhan.

Satu Alkitab Atau Banyak Alkitab?
Pada jaman dulu, tidak terdapat versi standard dari Perjanjian Lama. Kelompok-kelompok Yahudi yang berbeda dan wilayah-wilayah yang berbeda mempunyai versi mereka sendiri. Ada versi Septuagint, Aquila, Theodosi dan juga versi Symmanchu, semuanya memuat tulisan yang berbeda dan jumlah kitab yang berbeda. Perjanjian lama yang digunakan oleh orang-orang Kristen jaman sekarang adalah berdasarkan pada versi Masonetik, yang hanya muncul setelah Jamnia Synod pada akhir abad pertama sesudah Masehi. Perjanjian Baru tidak muncul dalam bentuknya seperti sekarang sampai tahun 404 Sesudah Masehi. Sebelum masa itu, Kitab-kitab Thomas, Kitab-kitab Nikodemus, The Acts of Peter, The Acts of Paul dan selusin buku lainnya tidak dimasukkan ke dalam Alkitab. Di tahun 404 SM, kitab-kitab tersebut berisikan ajaran yang bertentangan dengan ilmu ketuhanan orang Kristen pada waktu itu. Salah satu kitab tertua, Kodex Sinaitikus, mencantumkan Surat dari Barnabas, Injil yang tidak diikutsertakan di dalam Alkitab moderen. Kalau buku-buku tersebut dianggap sebagai wahyu Tuhan oleh orang-orang Kristen pertama, mengapa orang Kristen moderen tidak menganggap buku-buku tersebut wahyu Tuhan juga?
Ketika kita melihat kepada Alkitab yang digunakan oleh Kristen moderen, kita juga menemukan ada beberapa versi. Alkitab yang digunakan oleh Gereja Ethiophia, salah satu gereja paling kuno dari semua gereja, mencantumkan Kitab-kitab Enoch dan Gembala orang-orang Herma, yang tidak ditemukan di versi yang digunakan oleh Katolik maupun Protestan. Alkitab yang digunakan di Gereja Katolik mencantumkan Kitab-kitab Yudith, Tobias, Banuch, dll (Catatan dari penterjemah: Kitab-kitab tersebut tercantum di dalam dua Kitab yang ditemukan lebih lanjut yang juga disebut: Deutrokanonika dan Protokanonika) yang mana Kitab-kitab tersebut tidak diikutsertakan oleh Gereja Protestan. Profesor H.L. Drummingwright dari Southwestern Baptist Theological Seminary didalam memperkenalkan Alkitab, menjelaskan mengapa Injil-injil tersebut tidak diikutsertakan dalam Alkitab orang Protestan.
Injil-injil tersebut katanya,”dalam hampir semua Alkitab Protestan sampai abad ke-19, ketika pencetak (penerbit) yang dipimpin oleh British and Foreign Bible Society dengan sukarela mengabaikan Injil-injil tersebut.” Sekali lagi, Kitab-kitab tersebut berisi ide-ide yang gereja lain tidak suka, sehingga mereka dengan seenaknya mengabaikan Kitab-kitab itu. Bagaimana mungkin Kitab Yudith yang berisi Firman Allah yang tak mungkin salah itu bisa diabaikan? Mengapa ada begitu banyak versi Alkitab? Dan Alkitab yang mana yang berisi Firman Tuhan yang sempurna?

Adakah Kesalahan Di Dalam Alkitab?
Kita telah melihat sebelumnya bahwa terdapat banyak sekali kesalahan-kesalahan yang kita temui di Alkitab. Tetapi kita akan melihat lebih banyak lagi contoh-contoh bahwa Alkitab itu tidak akurat. Jaman sekarang, bahkan anak-anak sekolah pun tahu bahwa bumi bergerak; berputar pada porosnya dan pada saat yang sama berputar mengelilingi matahari. Kita juga tahu bahwa keping-keping tektonik di permukaan bumi juga bergerak. Akan tetapi Alkitab, dengan jelas menyatakan bahwa bumi tidak bergerak. Dalam 1 Tawarikh 16:30 di Alkitab tertulis,”Gemetarlah di hadapan-Nya hai segenap bumi; sungguh tegak dunia, tidak bergoyang.” (Lihat juga Mazmur 93:1, 96:10, 104:5)
Dibanyak bagian dari Alkitab terdapat hal-hal yang berlawanan dengan kenyataan ilmu pasti. Dan terlebih lagi Alkitab tidak saja berlawanan dengan kenyataan ilmu pasti, tetapi isi-isi Alkitab juga saling berlawanan. Marilah kita menyorot cerita tentang penciptaan. Di dalam Kitab Kejadian, dikatakan Tuhan menciptakan tanaman-tanaman dan pepohonan pada hari ke-tiga (Kejadian 1:20-23) dan akhirnya, manusia diciptakan pada hari ke-enam (Kejadian 1:26-27). Tetapi juga tercantum di kitab yang sama, versi lain dari cerita penciptaan mennyatakan Tuhan menciptakan manusia terlebih dahulu (Kejadian 2:7), kemudian semua tanaman dan pepohonan (Kejadian 2:9), kemudian burung-burung dan semua binatang (Kejadian 2:19) dan kemudian barulah Tuhan menciptakan wanita (Kejadian 2:21-22). Kedua versi yang berbeda ini tentunya telah saling bertentangan.
Sekarang marilah kita lihat pada Kisah Nuh. Di satu bagian dituliskan di dalam Alkitab bahwa Nuh membawa dua (sepasang) dari semua jenis binatang, lalu memasukkannya ke dalam bahtera (Kejadian 6:19). Kemudian di bagian lain diceritakan Nuh membawa tujuh pasang binatang yang bersih, dan burung-burung dan sepasang dari binatang yang lain dan memasukkannya ke dalam bahtera. (Kejadian 7:2). Sekali lagi Alkitab yang sama tapi isinya saling bertentangan. Orang-orang Kristen akan memprotes bahwa kesalahan-kesalahan yang telah kita buktikan ini sifatnya sangat kecil dan tidaklah penting. Akan tetapi, hanya diperlukan satu kesalahan untuk membuktikan Alkitab tidak sempurna. Dan juga kalau kesalahan-kesalahan kecil saja sudah terjadi, kesalahan yang sifatnya besar juga bisa terjadi. Dan akhirnya, hanya diperlukan satu kesalahan untuk membuktikan bahwa Alkitab bukanlah firman Allah atau Tuhan bisa berbuat kesalahan-kesalahan.

Apakah Alkitab Merupakan Kesaksian Yang Bisa Dipercaya?
Kita telah melihat bahwa Alkitab berisi banyak kesalahan, sehingga tidak memungkinkan untuk menjadi wahyu. Lalu kalau bukan firman-firman Tuhan, firman siapakah Alkitab itu? Beberapa dari injil di dalam Alkitab diberinama berdasarkan orang yang dianggap telah menulis injil tersebut. Maka Injil Matius seharusnya ditulis oleh Matius, salah seorang murid Yesus. Injil Markus seharusnya ditulis oleh Markus, murid Yesus yang lain, dan seterusnya.
Orang Kristen bisa mengklaim bahwa meskipun Alkitab mungkin bukan wahyu yang sempurna, tetapi Alkitab berisi kesaksian-kesaksian dari orang-orang yang bisa dipercaya. Mereka bisa mengklaim bahwa Matius, Markus, Lukas dan Yohanes mengenal Yesus dengan baik, mereka tinggal bersama Yesus untuk beberapa tahun, mereka mendengar ajaran-ajarannya dan tidak ada alasan bagi mereka untuk berbohong ataupun melebih-lebihkan sesuatu. Maka orang-orang Kristen bisa mengklaim bahwa Alkitab adalah kesaksian yang sangat terpercaya. Hanya sayang, supaya kesaksian bisa dipercaya, kesaksian itu haruslah berasal dari orang yang bisa dipercaya pula, yang mempunyai latar belakang yang baik. Apakah murid-murid Yesus orang yang seperti itu? Marilah kita lihat.
Beberapa dari murid Yesus adalah pemungut cukai (pajak) (Matius 9:9), seorang yang tidak jujur dan berasal dari kaum yang hina (Matius 18:17); yang lainnya hanyalah nelayan yang tidak berpendidikan (Markus 1:16-17). Simon adalah orang Zelot (Lukas 6:15), orang-orang yang dikenal karena kefanatikannya dan juga perlawanan yang beringas terhadap kekuasaan Romawi, dan seperti orang lain yang terlibat di dalam politik ilegal, Simon sering menggunakan nama samaran sehingga dia juga dikenal sebagai Petrus (Matius 10:2). Petrus dan James diberi julukan “Boanerges” yang berarti “anak-anak petir” (Markus 3:17) sekali lagi telah memberikan ide kepada kita akan keterlibatan mereka di dalam politik. Ketika Yesus ditangkap, murid-muridnya membawa pedang dan bersedia menggunakan pedang itu (Matius 26:51). Tentunya mereka bukanlah jenis orang yang kita akan merasa nyaman untuk mengenal.
(Catatan dari penterjemah: Orang-orang Kristen bisa mengatakan bahwa setelah dipanggil oleh Yesus, mereka berubah menjadi orang-orang yang baik dan taat akan perintah dan ajaranNya. Bahkan untuk orang Kristen jaman sekarang, para murid Yesus sering dipanggil nabi, karena peranan mereka dalam penulisan Injil. Akan tetapi, kalaupun murid-murid Yesus telah berubah baik, tetap saja tidak mengubah kenyataan bahwa mereka tidak bisa dipercaya, bahkan dengan julukan nabi sekalipun, mereka tetaplah manusia beringas yang bersiap-sedia menghunus pedang dan melukai orang lain.)
Satu hal lagi yang hendaknya membuat kita was-was untuk percaya kepada kesaksian murid-murid Yesus adalah mereka tampaknya seringkali salah mengerti apa yang diajarkan oleh Yesus. (Markus 4:13, 6:52, 8:15-17, 9:32; Lukas 8:9, 9:45). Mereka yang seharusnya telah melihat Yesus melakukan mukjizat yang paling luar biasa dan tetap saja mereka sering ragu-ragu. Yesus memarahi mereka dan memanggil mereka “orang-orang yang beriman kecil” (Matius 8:26, 17:20). Haruskah kita percaya kepada tulisan-tulisan orang-orang yang sering tidak mengerti ucapan yang ditujukan kepada mereka, dan kepada siapa Yesus memanggil orang yang beriman kecil? Kalau sampai orang yang telah mengenal dan melihat Yesus memiliki “iman yang kecil” bagaimana mungkin kita, yang tidak pernah melihat dia, bisa beriman kepada Yesus?
(Catatan dari penterjemah: Orang Kristen akan menggunakan kesempatan ini untuk mengatakan hal yang sama kepada para umat Buddha. Bagaimana mungkin kalian bisa beriman kepada Buddha kalau kalian juga tidak pernah melihat Buddha? Jawabannya sangatlah mudah. Kami umat Buddha TIDAK BERIMAN kepada Sang Buddha. Karena Sang Buddha adalah seorang guru yang kita hormati dan ikuti ajarannya. Bukan seorang tuhan yang kita sembah.)
(Catatan dari penterjemah: Pernah juga dikatakan bahwa iman adalah kepercayaan terhadap Tuhan, atas sesuatu yang tidak bisa dijawab oleh daya nalar atau daya pikir yang logika (misalnya misteri penciptaan dan penyelamatan manusia yang sampai sekarang masih belum terpecahkan), sesuatu yang tidak bisa terlihat oleh mata. Dan oleh karena itulah dibutuhkan iman untuk percaya kepada Tuhan, sesuatu yang tidak pernah kita lihat.)
(Catatan dari penterjemah: Sang Buddha bukanlah sesuatu yang tidak kita lihat, sehingga harus kita percaya secara buta (iman). Sang Buddha juga bukanlah pencipta. Meskipun Beliau telah “meninggal” lebih dari 2000 tahun yang lalu, ajaran Beliau tetaplah masuk akal, baik, berguna, tidak dirubah sejak pertama kali beliau mengajarkan Dhamma. Itulah penjelasannya, mengapa kita tidak beriman kepada Sang Buddha. Karena kita menghormati Sang Buddha sebagai guru bukan sebagai Tuhan, berusaha mengamalkan, membuktikan kebenaran ajaran Beliau yang tidak berubah dari waktu ke waktu.)
Tentang bagaimana tidak bisa dipercayanya dan tidak berimannya orang-orang yang turut menulis Injil bisa dilihat melalui gambaran tentang apa yang mereka perbuat sebelum Yesus ditangkap. Dia bertanya kepada mereka untuk berjaga-jaga, tetapi mereka malah tertidur (Matius 26:36-43). Setelah Yesus tertangkap, mereka berbohong dan menyangkal bahwa mereka mengenal Yesus (Markus 14:66-72), dan setelah Yesus dieksekusi, mereka kembali menjadi nelayan (Yohanes 21:2-3). Dan siapa yang mengkhianati Yesus? Muridnya Yudas (Matius 26:14-16). Berkumpul dengan para pendosa, pembohong dan orang-orang bodoh untuk menolong mereka adalah perbuatan Yesus yang mulia. Tetapi haruskah kita percaya dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang seperti itu?
Hal yang lebih mengganggu hati kita tentang murid-murid Yesus adalah berapa seringnya mereka dirasuki oleh setan atau iblis dari waktu ke waktu. Maria Magdalena, orang yang dikatakan melihat kebangkitan Yesus, telah dirasuki oleh tujuh iblis (Markus 16:9). Setan masuk ke tubuh Yudas (Lukas 22:3), mencoba merasuki Simon (Lukas 22:31) dan Yesus pernah sekali memanggil Petrus, murid utamanya, “Setan” (Matius 16:23) menandakan bahwa Petruspun pernah dirasuki oleh setan pada waktu itu. Entah itu dirasuki oleh setan atau gejala dari kelainan jiwa yang serius seperti yang diyakini oleh psikiater jaman sekarang, kita hendaknya sangat berhati-hati terhadap kata-kata dari murid Yesus.

Siapa Yang Menulis Injil?
Kita telah membuktikan bahwa Alkitab itu berisi banyak kesalahan, bukanlah wahyu, dan bukanlah kesaksian dari orang yang bisa dipercaya. Sekarang kita akan menunjukkan bahwa Alkitab bahkan tidak ditulis oleh orang-orang yang dikatakan telah menulisnya. Marilah kita melihat lima kitab pertama dari Alkitab: Kejadian, Keluaran, Leviticus, Bilangan, dan Deutronomy. Kelima buku tersebut menceritakan kisah penciptaan dunia dan alam semesta, wahyu Tuhan kepada manusia, dan sejarah awal suku orang Israel yang semuanya dikatakan telah ditulis oleh Musa. Bahkan kenyataannya, kelima buku itu sering disebut “Buku-buku Musa”. Akan tetapi, pengarangan Musa jelaslah tidak mungkin, karena di dalam buku-buku tersebut terdapat laporan tentang kematian Musa.
“Lalu matilah Musa, hamba TUHAN itu, di sana di tanah Moab, sesuai dengan firman TUHAN. Dan dikuburkanNyalah dia di suatu lembah di tanah Moab, di tentangan Bet-Peor, dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini.” (Ulangan 34:5-6)
Bagaimana mungkin seseorang menuliskan tentang kematian dan penguburannya sendiri? Setidaknya buku Ulangan pasti telah ditulis oleh seseorang selain Musa.
Sekarang marilah kita melihat kepada Perjanjian Baru. Injil Matius seharusnya telah ditulis oleh Matius (pemungut cukai/pajak, orang yang ragu, orang yang beriman kecil), salah seorang murid Yesus. Dengan mudah kita tunjukkan bahwa Matius tidak mungkin menulis Injil Matius. Kita membaca:
“Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya: “Ikutlah Aku.” Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia.” (Matius 9:9)
Baik di jaman sekarang maupun di jaman dulu orang menuliskan dirinya sebagai orang ketiga. Kalau Matius benar-benar telah menulis Injil Matius, kita akan mengharapkan untuk membaca ayat itu sebagai berikut:
“Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat saya duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata: “Ikutlah Aku.” Maka berdirilah saya mengikut Dia.”
Tentunya Injil Matius tidak ditulis oleh Matius, tetapi oleh pihak ketiga. Siapa pihak ketiga ini kita tidaklah tahu, tetapi sarjana-sarjana Alkitab telah menebak-nebak. Di dalam prakata dari terjemahan Injil Matius, sarjana Alkitab terkemuka J.B Phillip mengatakan:
Tradisi awal menganggap Injil Rasul Matius berasal darinya tetapi hampir semua sarjana Alkitab di jaman sekarang menolak nilai tradisi ini. Pengarang tersebut, yang mana supaya lebih mudah masih kita panggil Matius telah mengumpulkan sebuah koleksi tentang tradisi-tradisi yang diucapkan. Dia telah menggunakan injil Markus dengan sesuka hati, meskipun dia telah mengganti urutan-urutan kejadian, dan di dalam beberapa kasus, telah menggunakan kata-kata yang lain untuk sebuah cerita yang sama.
Ini tentunya adalah sebuah pengakuan yang sangat mengganggu, apalagi pengakuan ini berasal dari seorang sarjana Alkitab Kristen yang terkenal. Kita diberitahu bahwa “hampir semua” sarjana Alkitab moderen menolak ide bahwa Injil Matius ditulis oleh Matius itu sendiri. Kita diberitahu bahwa meskipun pengarang asli injil Matius itu tidak diketahui siapa, akan “lebih mudah” (convenient) untuk memanggilnya dengan nama Matius. Berikutnya kita juga diberitahu bahwa siapapun yang menulis Injil Matius telah “dengan sesuka hati” menjiplak banyak dari Injil Markus. Dalam kata lain, Injil Matius adalah jiplakan yang tidak bertanggungjawab (plagiarism) yang mana bahan-bahannya telah “diatur ulang” dan di susun dalam “kata-kata yang berbeda”. Maka ternyata di dalam Kitab Matius, bukan saja kita tidak menemukan kata-kata Tuhan, kita bahkan tidak menemukan kata-kata dari Matius yang asli.
Berkat tulisan dari sarjana Alkitab seperti Profesor J.B. Phillups, mereka secara terbuka mengakui hal ini dan keragu-raguan lain tentang pengarang asli dari Alkitab, tetapi pengakuan-pengakuan tersebut telah membuat klaim bahwa Injil-injil telah ditulis oleh murid-murid Yesus jelaslah tidak benar.

Kesalahan-kesalahan Dan Perubahan-perubahan Di Dalam Alkitab
Kalau kita melihat di dasar setiap halaman di hampir semua Alkitab, kita akan menemukan beberapa catatan. Catatan-catatan tersebut menandakan adanya kesalahan, perubahan-perubahan ataupun bacaan-bacaan yang meragukan di dalam tulisan Alkitab. Dan jumlah catatan-catatan tersebut mencapai ratusan. Beberapa dari kesalahan atau perubahan terdiri dari beberapa kata, tetapi beberapa dari mereka adalah cukup panjang. (seperti contoh, lihatlah catatan untuk Lukas 9:55-56; Yohanes 5:3, Acts 24:6; I Korintus 8:36-38; 11:4-7; 2 Korintus 10:13-15). Juga perhatikan catatan untuk Markus 16:9-20 yang mengatakan bahwa Markus 16:9-20 di dalam Alkitab ini tidak pernah ada di Alkitab kuno. Dalam kata lain, bagian yang cukup panjang ini telah ditambahkan pada waktu yang lebih mendekati jaman sekarang. Bagaimana bisa orang-orang Kirsten secara jujur mengatakan bahwa Alkitab itu sempurna dan tidak pernah salah ketika semua kesalahan yang ada ditunjukkan pada setiap halaman di mana terdapat kesalahan itu?
Di dalam Perjanjian Baru, Yesus dan murid-muridnya sering mengutip dari Perjanjian Lama dengan tujuan untuk menjelaskan sesuatu atau, biasanya, untuk berusaha membuktikan bahwa Perjanjian Lama menubuatkan kejadian-kejadian di dalam kehidupan Yesus. Tetapi ketika kita membandingkan kutipan-kutipan tersebut dengan isi asli Perjanjian Lama, kita menemukan bahwa keduanya itu hampir selalu berbeda. Kita akan menggunakan Versi Internasional Baru dari Alkitab.

Perjanjian Lama
“Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala” (Mikha 5:1)

Perjanjian Baru
“Dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari padamulah akan bangkit seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.” (Matius 2:6)
Kutipan yang ada di Perjanjian Baru bukan saja berisi kata-kata yang berbeda, kutipan itu juga mengganti arti dari kutipan asli Perjanjian Lama. Apakah Matius telah salah mengutip Perjanjian Lama karena dia tidak begitu mengetahui isi Perjanjian Lama sehingga membuat kesalahan? Atau apakah Perjanjian Lama yang Matius gunakan berbeda dengan Perjanjian Lama yang kita baca hari ini? Perjanjian Baru mengutip isi-isi Perjanjian Lama berlusin kali seringnya, dan hampir tidak ada satu kutipan pun yang akurat. Orang Kristen akan memprotes dan mengatakan bahwa perubahan-perubahan tersebut hanyalah kecil dan tidak penting. Memang mungkin benar tidak berarti, tetapi ini adalah bukti bahwa Alkitab memuat banyak kesalahan, berlawanan dengan apa yang orang Kristen katakan tentang Alkitab. Dan juga, sangatlah aneh di mana Matius, Markus, Lukas, Yohanes dan Paulus, yang menurut orang-orang Kristen telah diilhami Tuhan untuk menulis Perjanjian Baru, bahkan tidak bisa mengutip Perjanjian Lama dengan benar.

Mengganti Doa Bapa Kami
Yesus mengajarkan kepada murid-muridnya tentang Doa Bapa Kami sebelum dia meninggal  dan sejak itu, generasi demi generasi dari orang Kristen telah mempelajari doa tersebut di luar kepala. Tetapi siapapun yang telah menghafalnya 20 tahun yang lalu, akan harus belajar menghafalnya sekali lagi karena Doa Bapa Kami telah diubah. Kita akan membandingkan Doa Bapa Kami yang asli yang kita temukan di semua Alkitab yang dicetak sebelum 20 tahun yang lalu, dengan Doa Bapa Kami yang ada di dalam Versi Internasional Baru, dan kita akan melihat bahwa orang-orang Kristen bahkan telah merusakkan ajaran terpenting dari Yesus.
(Catatan dari penterjemah: Buku ini dikarang pertama kali pada tahun 1994. Maka bisa kita sadari bahwa maksud dari paragraf sebelumnya adalah isi Alkitab tentang Doa Bapa Kami sebelum munculnya Versi International Baru (New International Version) berbeda dengan Doa Bapa Kami yang tercantum di dalam Versi Internasional Baru. Yang mana Versi Internasional Baru muncul kira-kira 20 tahun sebelum tahun 1994. Jadi bukan persis 20 tahun sebelum tahun 2003.)

Alkitab Versi King James
Our Father who art in heaven, hallowed be thy name. Thy kingdom come, thy will be done on earth as it is in heaven. Give us this day our daily bread; and forgive us our trespasses as we forgive those who trespass against us. And lead us not into tempation, but deliver us from evil, for thine is the kingdom and the power, and the glory forever and ever. Amen. (Lukas 11:2-5)

Alkitab Versi Internasional Baru
Father, hallowed be your name, your kingdom come. Give us each day our bread. Forgive us our sins, for we also forgive everyone who sins against us. And lead us not into temptation (Lukas 11:2-5)
(Catatan dari penterjemah: Saya juga secara kebetulan mendapatkan Alkitab Versi King James cetakan tahun 1984 yang dicetak oleh Thomas Nelson, Inc. Isi Doa Bapa Kami yang tertera di Lukas 11:2-5 berbunyi seperti berikut:
“Our Father which art in heaven, Hallowed by thy name. Thy kingdom come. Thy will be done, as in heaven, so in earth. Give us day by day our daily bread. And forgive us our sins; for we also forgive every one that is indebted to us. And lead us not into temptation; but deliver us from evil.” )
(Catatan dari penterjemah: Bahkan versi King James sendiri pun sudah berbeda dengan Versi King James yang dipakai oleh Bhikku A L De Silva sewaktu menulis buku Beyond Belief ini. Dengan terteranya tiga versi Alkitab dari ayat yang sama, kita bisa melihat bahwa tidak satupun dari ketiganya yang benar kata demi kata. Mana yang paling benar yang diucapkan Yesus?).
Perhatikan frase-frase berikut – “who art in heaven”,”thy will be done on earth as it is in heaven”,”but deliver us from evil, for thine is the kingdom and the power, and the glory forever and ever. Amen” – telah dipotong dari Doa Bapa Kami.
Kita hendaknya menanyakan teman Kristen kita mengapa frase-frase tersebut telah dipotong (dibuang), yang mana adalah ajaran paling terkenal dan paling penting dari Yesus. Tanyakan di antara kedua versi ini, manakah yang merupakan firman Tuhan yang sempurna, firman Tuhan yang tidak berubah. Tanyakan mereka, siapa yang mempunyai pengetahuan dan kebijaksanaan yang cukup untuk mengubah isi Alkitab. Anda akan menemukan mereka sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang Anda ajukan. Di sini dan di manapun juga, para pembaca disarankan untuk pergi ke perpustakaan dan toko buku, carilah versi-versi Alkitab yang berlainan dan secara seksama dan hati-hati bandingkan isinya. Kita akan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Alkitab-Alkitab itu saling berbeda sebagai hasil dari penggubahan.

Membuang Ayat-Ayat Alkitab
Bukti bahwa Alkitab telah diubah-ubah bisa ditemukan di setiap halaman, jika kita melihat dengan seksama. Tulisan-tulisan Alkitab diatur ke dalam pasal-pasal yang kemudian di bagi lagi ke dalam ayat-ayat. Sewaktu kita membaca Alkitab, kita terkadang akan menemukan satu atau dua ayat yang hilang. Versi Internasional Baru yang dicetak oleh New York International Bible Society, perhatikan ayat 44-46 telah dihapus dari Markus pasal 9. Ayat 37 telah dibuang dari Act 8, dan ayat 28 telah dibuang dari Markus 15. Bagaimana mungkin orang-orang Kristen bisa mengklaim bahwa Alkitab adalah sempurna dan firman Tuhan yang tidak berubah ketika mereka membuang ayat-ayat dan kata-kata yang tidak sepadan(convenient).

Penerjemahan Yang Memilih (Selektif)
Ketika orang-orang Kristen hendak meyakinkan kita tentang bukti nyata agama mereka, mereka akan mengutip dari Alkitab, supaya kita percaya seperti mereka bahwa setiap kata di dalam Alkitab itu benar apa adanya. Tetapi ketika kita yang mengutip dari Alkitab untuk membuktikan agama mereka primitif, bodoh atau tidak masuk akal (contohnya: asap keluar dari hidung Tuhan dan api yang keluar dari mulut Tuhan, Psalms 18:7-8; atau keledai yang bisa berbicara, Bilangan 22:28) orang Kristen akan mengatakan: “Hal-hal seperti itu hanyalah simbolis, hendaknya tidak diartikan apa adanya.” Orang Kristen sangatlah memilih di dalam mengartikan Alkitab. Beberapa ayat adalah “Firman Allah” yang diartikan benar apa adanya, tetapi di bagian-bagian yang lain, biasanya bagian yang memalukan, tidak bisa diartikan apa adanya. Alkitab haruslah menjadi Firman Allah atau Alkitab bukan Firman Allah sama sekali, seseorang tidak bisa sekedar memetik ayat dan memilih cara pengartian seenaknya. Apabila benar beberapa ayat harus diartikan apa adanya dan ayat lain diartikan secara simbolis, bagaimana seorang Kristen itu tau dan memutuskan cara untuk mengartikan ayat tersebut? Kalau cerita-cerita tentang keledai Balaam yang berbicara, Adam dan Hawa memakan buah apel, atau Musa mengubah tongkat menjadi ular tidak untuk diartikan apa adanya, mungkin juga, cerita tentang kebangkitan Yesus hanyalah simbolis (lambang) dan tidak untuk diartikan secara apa adanya.
============================================================
Bab VII
Ajaran Sang Buddha – Alternatif Yang Masuk Akal
“Kalau kamu tidak mempunyai guru yang bisa menjelaskan ajarannya dengan memuaskan, maka ambillah Dhamma yang pasti ini dan amalkanlah. Dengan kepastian Dhamma, dan dengan pengamalan yang benar, adalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaanmu untuk waktu yang lama”. Sang Buddha
Agama Kristiani didasarkan kepada beberapa kejadian sejarah yang dianggap terjadi (perawan yang melahirkan anak, kebangkitan dari mati, dan lain-lain), satu-satunya catatan terhadapnya adalah Alkitab yang dianggap benar pula. Jika kejadian-kejadian tersebut bisa dibuktikan tidak pernah terjadi, dan jika dokumen-dokumen yang merekam kejadian tersebut bisa terbukti untuk tidak bisa dipercaya, maka Agama Kristiani akan jatuh. Di dalam buku ini, telah kita lihat bahwa klaim-klaim yang dibuat, dalam segi terbaiknya sangatlah meragukan, dan dalam segi terburuknya adalah telah terbukti salah.
Ketika kita mengamati ajaran-ajaran Sang Buddha, kita menemukan suatu keadaan yang berbeda secara keseluruhan. Bahkan kalaupun kita bisa membuktikan bahwa Buddha itu tidak pernah ada ataupun adanya kesalahan-kesalahan dalam tulisan-tulisan Buddhis, kesalahan tersebut tidaklah meruntuhkan ajaran Sang Buddha. Mengapa? Karena ajaran Sang Buddha tidaklah sekedar sejarah Sang Buddha ataupun kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu; melainkan Buddhisme itu adalah mengenai penderitaan manusia, penyebab-penyebab penderitaan, dan bagaimana penderitaan itu dapat di atasi sehingga manusia bisa menjadi terbebas, bahagia dan memancarkan kebebasan dan kebahagiaan itu. Kalau kita ingin tahu atau membuktikan kebenaran atau mengerti ajaran Buddhisme, kita tidak mengutip ataupun mencarinya di dalam tulisan-tulisan kuno dan saling bertengkar tentang arti dari kata-kata atau potongan kalimat; melainkan kita menghubungkan ajaran tersebut dengan pengalaman kita sendiri. Marilah kita teliti keempat prinsip yang menjadi pokok ajaran Sang Buddha.

( I ) Setelah Kita Mati Kita Dilahirkan Kembali
Orang-orang Kristen percaya bahwa ketika orang meninggal mereka hanya mempunyai salah satu dari dua takdir terakhir – surga atau neraka. Mereka percaya bahwa kedua takdir tersebut sifatnya abadi dan orang pergi ke salah satu takdir itu menurut pengadilan Allah Bapa.
Buddhisme mengajarkan bahwa ketika orang meninggal, mereka bisa mempunyai berbagai macam tujuan (surga, neraka, sebagai manusia kembali, sebagai binatang, dan sebagainya). Buddhisme mengajarkan bahwa tidak satupun dari tujuan itu bersifat abadi. Dengan selesainya kehidupan di salah satu alam, berlanjutlah kehidupan itu ke alam yang lain (atau alam yang sama). Buddhisme juga mengajarkan bahwa tujuan dari seseorang itu disyaratkan oleh karma dari orang itu (persisnya: jumlah dari semua kebaikan dan kesalahan yang orang tersebut lakukan semasa hidupnya). Ini berarti bahwa semua orang baik, tanpa peduli apapun agamanya, akan mendapatkan nasib yang baik. Ini juga berarti bahwa meskipun ada yang melakukan kesalahan ataupun kejahatan akan mempunyai kesempatan untuk menjadi baik lagi di kehidupan selanjutnya.
Orang-orang Kristen mentertawakan pendapat tentang kelahiran kembali dan mengatakan tidak ada bukti yang kuat terhadap kelahiran kembali. Tetapi pendapat tentang kelahiran kembali ini tidaklah begitu berbeda dengan pendapat orang Kristen tentang kehidupan sesudah kematian – kalau setelah orang meninggal bisa menjadi malaikat di surga, mengapa mereka tidak bisa menjadi manusia di bumi? Dan dalam hal pembuktian, secara jelas tidak ada bukti tentang teori kehidupan sesudah kematian yang dianut oleh orang Kristen. Sedangkan ada beberapa pembuktian bahwa orang bisa dilahirkan kembali (bacalah Twenty Cases Suggestive of Reincarnation, University Press of Virginia, Charlotteville USA, 1975). (Catatan dari penterjemah: Saya secara kebetulan juga mengetahui dan telah membaca sebuah buku tentang reinkarnasi (kelahiran kembali) yang berjudul “Reincarnation: The Boy Lama”. Saya juga pernah mendengar bahwa buku tersebut pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia di akhir 1980 atau di awal 1990 yang judulnya lebih kurang sama dengan judul aslinya dalam bahasa Inggris. Sebagai petunjuk, bocah yang menjadi lama di Tibet ini bernama Osel yang dilahirkan dari keluarga Mexico atau keturunan Spanyol.)

( II ) Hidup Adalah Penderitaan
Prinsip berikutnya yang menjadi dasar Buddhisme adalah pendapat bahwa hidup ini adalah penderitaan. Meskipun orang-orang Kristen menuduh orang-orang Buddhis sebagai orang yang pesimis setelah mengucapkan pendapat tersebut, ketidakpuasan yang diwarisi oleh hidup ini sebenarnya dibenarkan oleh Alkitab: “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” (Yohanes 16:33) (Ayub 5:7; Pengkhotbah 1:8; Yesaya 24:4). Tetapi sementara kedua agama setuju dengan ide penderitaan ini, kedua agama tidak setuju terhadap mengapa penderitaan itu ada. (Catatan dari penterjemah: Orang-orang Kristen yang mempunyai pemikiran yang kritis akan menanyakan, “Mengapa kalian menyalahkan isi Alkitab, lalu setelah menyalahkan malah sekarang memakai isi Alkitab untuk melindungi diri kalian sendiri?” Pemakaian ayat-ayat Alkitab di atas bukanlah berarti setelah kita menyalahkan Alkitab, lalu memakainya kembali untuk melindungi diri kita sendiri. Perlu diketahui bahwa pemakaian isi Alkitab di dalam buku ini adalah untuk menunjukkan adanya kesalahan dan ketidaksempurnaan Alkitab, menyangkal Alkitab itu firman dari Allah, bukan wahyu Allah ataupun ilham ataupun kesaksian yang bisa dipercaya. Tidak pernah sekalipun di dalam buku ini sang pengarang dan kita mengatakan bahwa isi Alkitab salah semua. Secara terbuka sang pengarang memuji beberapa ajaran Kristen yang mulia (yang banyak dari ajaran itu tercantum di Alkitab), yang telah membuat beliau menjadi umat Buddha yang lebih taat.)
Orang-orang Kristen bergantung kepada mitos yang menjelaskan asal mula kejahatan dan penderitaan sebagai akibat dari Adam dan Hawa yang telah memakan apel (Catatan dari penterjemah: buah terlarang, buah pengetahuan).
Buddhisme melihat penderitaan itu sebagai kejadian psikologi yang mempunyai sebab psikologis – kemauan, ketergantungan, dan nafsu. Dan pengalaman kita sendiri menjelaskan bahwa memang benar begitu. Ketika kita menginginkan sesuatu dan tidak bisa mendapatkannya, kita akan merasa kecewa, dan semakin kuat keinginan itu, semakin kuat juga kekecewaan itu.
Bahkan kalaupun kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, kita akan menjadi bosan dan mulai untuk menginginkan hal yang lain. Bahkan penderitaan badan disebabkan oleh ketergantungan, karena ketergantungan yang kuat untuk hidup membuat kita dilahirkan kembali dan ketika kita dilahirkan kembali kita bisa menderita sakit, kecelakaan, menjadi tua, terpisah dari orang-orang yang kita kasihi, dan lain-lain.
Buddhisme mengajarkan bahkan kebahagiaan di surga tidaklah abadi dan tidaklah sempurna, kenyataan yang disetujui oleh Alkitab. Alkitab memberitahu kita bahwa Setan dulunya adalah salah satu malaikat di surga, tetapi dia memberontak melawan Tuhan (yang berarti: Setan tidak puas) dan dibuang dari surga (yang berarti: keberadaan di surga tidaklah abadi). Kalau pernah berada di surga sekali dan bisa terjatuh dari kehidupan di surga, ini membuktikan bahwa surga tidaklah sempurna dan tidaklah abadi, yang mana orang Kristen mengklaim sebaliknya. (Bacalah: Yesaya 14:12-15, 2 Petrus 2:4, Yudea 6, Wahyu 12:9)

( III ) Penderitaan Bisa Diatasi
Prinsip ketiga yang menjadi dasar Buddhisme adalah pendapat bahwa adalah mungkin untuk terbebas dari penderitaan. Ketika ketergantungan dan keinginan berhenti, kehidupan seseorang menjadi lebih sederhana dan bahagia, dan setelah meninggal, ia tidak akan terlahir kembali. Keadaan yang terbebas sepenuhnya dari penderitaan di sebut Nibbana dan digambarkan oleh Sang Buddha sebagai “Kebahagiaan Tertinggi” (Dhammapada 203).
“Rasa lapar adalah penyakit yang paling berat, Lima Kandha (yang terdiri dari jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk mental, dan kesadaran manusia sesungguhnya hanyalah komposisi dari lima kelompok kehidupan ini) adalah keburukan yang paling parah; (dengan) menyadari kenyataan ini, orang bijaksana mencapai Nibbana, Kebahagiaan Tertinggi.” – Dhammapada 203. (Catatan dari penterjemah: Pengertiannya adalah manusia adalah terdiri dari lima kelompok kehidupan yang disebut di atas – Lima Kandha. Unsur-unsur itulah yang harus kita hilangkan supaya terlepas dari roda kehidupan (penderitaan). Itulah sebabnya dikatakan Lima Kandha adalah keburukan yang paling parah karena bisa lapar (memunculkan keinginan, ketergantungan, dan nafsu – penderitaan). Dengan hilangnya Lima Kandha, kita bisa terbebas dari keburukan yang paling parah penyebab kehidupan kembali (penderitaan), dan mencapai Nibbana.)
Orang Kristen sering salah mengartikan, bahwa Nibanna adalah kehampaan yang kosong dan menuduh ajaran Buddha itu penuh dengan kehampaan. Kesalahpahaman ini muncul karena ketidakmampuan mereka untuk memahami kehidupan sesudah kematian yang lebih halus daripada surga yang mereka percaya yang “ada di atas sana” (Psalms 14:2, 53:2) dengan pintu-pintu dan jendela-jendela (Kejadian 28:17, Wahyu 4:1, 2 Raja-Raja 7:2, Malaekhi 3:10), tempat Allah Bapa duduk di singgasana (Wahyu 4:2) dikelilingi oleh orang-orang Kristen berbusana indah dengan mahkota tiara (bercabang tiga) bermain trompet (Wahu 4:4). Sang Buddha secara pasti mengatakan bahwa Nibbana itu tidaklah hampa.
Ketika seseorang telah membebaskan pikiran, para dewa tidak bisa melacaknya, meskipun mereka berpikir: “Ini adalah kesadaran yang melekat kepada Sang Kesunyataan (Buddha).” Dan mengapa? Karena Sang Kesunyataan tidaklah dapat dilacak. Meskipun saya mengatakan hal ini, ada beberapa pertapa dan guru-guru agama yang telah menyajikan (ajaran) Saya dengan salah, yang secara tidak sesuai kenyataan, berkata: “Sang Bhikkhu Gautama (Buddha) adalah seorang yang penuh kehampaan karena Dia mengajarkan pembuangan, penghancuran, dan kehilangan dari sebuah kesatuan yang ada.” Tetapi ini tentulah tidak Saya ucapkan. Baik sekarang dan di masa lalu, Saya hanya mengajarkan penderitaan dan cara-cara mengatasi penderitaan. (Majjhima Nikaya, Sutta No.22)
Tetapi Beliau juga mengatakan bahwa Nibbana bukanlah “kehidupan abadi” yang mentah dan sederhana. Nibbana tidaklah seperti yang dilukiskan oleh Kristiani. Nibbana adalah suatu keadaan yang sama sekali murni dan bahagia yang tidak ada satupun bahasa umum yang bisa jelaskan secara tepat.
Orang-orang Kristen kadang mengatakan bahwa Buddhisme bertentangan dengan dirinya sendiri karena dalam keinginan untuk mencapai*) Nibbana, seseorang telah memperkuat keinginan (Catatan dari penterjemah: salah satu dari hasil Lima Kandha – yang lainnya adalah ketergantungan, dan nafsu) yang dapat mencegah orang itu untuk mencapainya. Pendapat ini dibawakan pada saat Buddha masih hidup, dan dijawab oleh salah seorang murid utama Beliau, Ananda. (Catatan dari penterjemah: *) – kata “mencapai” tidaklah mengartikan bahwa Nibbana adalah suatu tempat. Kata-kata seperti “jalan menuju Nibbana” sering dipakai untuk menggambarkan ajaran Sang Buddha yang telah ditemukan oleh Sang Buddha, dan diajarkan kepada – juga bisa dicapai oleh, para murid-murid Dhamma. Catatan ini ada untuk menghindari adanya kesalahpahaman bahwa ajaran Sang Buddha berisi banyak pertentangan. Perlu kiranya ditekankan sekali lagi bahwa Nibbana tidak dapat dijelaskan melalui kata-kata umum. Penggunaan kata “mencapai” “tujuan” “jalan  menuju” “kebahagiaan tertinggi” hanyalah untuk penjelasan yang seiring dengan konsep Nibbana yang disampaikan oleh Sang Buddha.)
Seorang imam menanyakan Yang Mulia Ananda: “Apa tujuan dari kehidupan suci di bawah bhikkhu Gautama?” – “Tujuannya adalah untuk melepaskan nafsu.” – “Adakah caranya, latihan yang mana bisa melepaskan nafsu?” – “Ada caranya, yaitu dengan usaha kekuatan batin dari keinginan, energi, pikiran dan perenungan yang bersama-sama dengan konsentrasi (pemusatan pikiran) dan usaha.” – “Kalau begitu adanya, Yang Mulia Annanda, lalu ini sama saja dengan usaha yang tiada akhirnya. Karena untuk melepaskan satu nafsu untuk dengan menggunakan nafsu yang lain adalah tidak mungkin.” – “Lalu saya akan bertanya kepadamu sebuah pertanyaan; jawablah sesukamu. Sebelumnya, apakah kamu mempunyai nafsu (keinginan), energi, pikiran dan perenungan untuk datang ke taman ini? Dan setelah tiba, hilangkah keinginan, energi, pikiran dan renungan yang kau bawa itu?” – “Ya, semuanya itu hilang.” – “Kalau begitu, seseorang yang telah menghancurkan kekotoran batin, setelah dia mencapai penerangan sempurna, keinginan itu, energi itu, pikiran itu, renungan yang dia miliki untuk mencapai penerangan sempurna sekarang telah sirna.” (Samyutta Nikaya, Book Seven, Sutta No.15)

(IV) Ada Cara Untuk Mengatasi Penderitaan
Prinsip terakhir yang menjadi dasar ajaran agama Buddha mengajarkan kita bagaimana caranya untuk menghilangkan ketergantungan, yang kemudian terbebas dari penderitaan di dalam hidup ini dan di masa yang akan datang. Ketiga prinsip pertama adalah bagaimana cara pandang orang Buddhis terhadap dunia dan kesulitan manusia, sedangkan prinsip terakhir ini adalah tentang apa yang umat Buddhis putuskan untuk mengatasi kesulitan tersebut. Dan jawaban Buddhis terhadap penderitaan adalah untuk menjalankan Delapan Jalan Mulia (Kebenaran). Sistem yang sangat bisa diterapkan dan berlaku secara universal ini terdiri dari pengembangan Pengertian Benar, Pikiran Benar, Perkataan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Kesadaran Benar, Konsentrasi Benar. Kita akan melihat secara singkat masing-masing dari jalan tersebut.

Pengertian (Pandangan) Benar
Kalau kita bertahan untuk percaya bahwa kejahatan (dosa) dan penderitaan adalah disebabkan oleh sesuatu yang Adam dan Hawa lakukan, atau bahwa kejahatan (dosa) dan penderitaan disebabkan oleh iblis, kita tidak akan pernah bisa mengatasinya. Ketika kita mengerti bahwa kitalah yang menyebabkan penderitaan kita sendiri melalui kebodohan dan ketergantungan (kemelekatan), kita telah mengambil langkah pertama untuk mengatasi penderitaan itu. Mengetahui penyebab utama dari sebuah masalah adalah awal dari usaha mengatasi masalah itu. Dan adalah tidak cukup untuk hanya percaya – kita harus berusaha untuk mengerti. Pengertian benar memerlukan penggunaan otak, penelitian yang hati-hati, pembuktian dari kenyataan-kenyataan yang ada, keterbukaan. Dalam usaha untuk mendapatkan wawasan dan pengetahuan, kualitas-kualitas tadi akan terasah dan diperkuat.

Pikiran, Ucapan dan Perbuatan Benar
Ketiga tahap dari Delapan Jalan Kebenaran menjadi batang tubuh dari ajaran etika (moral) Buddhis. Orang-orang Kristen sering mencoba untuk memberikan kesan bahwa hanya moral merekalah yang berputar disekitar kelembutan, cinta kasih dan pengampunan. Tetapi, kenyataannya 500 tahun sebelum Yesus, Buddha mengajarkan etika yang berpusatkan cinta kasih dengan lebih baik dan lebih lengkap daripada ajaran Kristiani. Untuk melatih Pikiran Benar, kita hendaknya mengisi pikiran-pikiran kita dengan pikiran-pikiran cinta kasih dan belas kasihan.
Kembangkan pikiran yang penuh cinta kasih, belas kasihan, dikendalikan oleh kebajikan, timbulkan energimu, jadilah orang yang tegas dan selalu teguh di dalam membuat kemajuan. (Theragata 979)
“Ketika dengan satu pikiran yang penuh dengan kasih sayang, seseorang akan merasakan belas kasihan kepada seluruh dunia – yang di atas, dibawah dan disekeliling, tak terbatas ke seluruh penjuru, dipenuhi dengan kebaikan hati yang tak terbatas, lengkap dan terlatih dengan benar; dan semua perbuatan-perbuatan terbatas yang seorang telah lakukan tidak akan tetap hidup di dalam pikiran itu.” (Jataka 37,38)
Sama halnya dengan air yang menyejukkan kebaikan dan keburukan dan membersihkan semua kotoran dan debu, dengan cara yang sama kamu hendaknya mengembangkan pikiran-pikiran cinta kasih kepada teman dan lawan, dan dengan mencapai kesempurnaan dalam cinta kasih, kamu akan mencapai Penerangan Sempurna (Jataka Nidanakatha 168-169)
Dalam melatih Ucapan Benar, kita hendaknya menggunakan kata-kata yang kita gunakan untuk mendukung kejujuran, kelembutan hati dan kedamaian. Sang Buddha menggambarkan Ucapan Benar seperti berikut ini.
“Kalau kata-kata mempunyai lima ciri khas, ciri khas tersebut adalah: pengucapan yang benar, bukan pengucapan yang sembarangan, tidak disalahkan maupun dikutuk oleh orang-orang bijaksana, kata-kata itu diucapkan pada saat yang tepat, penuh kebenaran, lembut, langsung (tepat pada sasaran), dan digerakkan oleh cinta kasih”. (Anguttara Nikaya, Books of Fives, Sutta 198)
Dengan keindahan dan kejelasan yang merupakan ciri khas dari Sang Buddha, Beliau menjelaskan seorang yang berusaha mengembangkan Ucapan Benar sebagai berikut.
“Tidak berbohong, seorang menjadi pembicara tentang kebenaran, bisa diandalkan, patut dipercaya, bukanlah penipu dunia ini. Tidak memfitnah, seorang tidak mengulang di tempat lain terhadap apa yang didengar di tempat ini, atau mengulang di tempat ini terhadap apa yang didengar di tempat lain, yang tujuannya untuk memecah-belah orang. Sehingga, orang itu menjadi pemersatu dari yang terpecahkan, penggabung dari apa yang sudah bersatu, memberi kebahagiaan di dalam kedamaian, memberikan kesenangan di dalam kedamaian, mendukung perdamaian; perdamaian adalah penggerak ucapan-ucapannya. Berhenti berkata kasar, seorang mengatakan apa yang tidak disalahkan, enak di dengar telinga, bisa disetujui, menyentuh hati, berbudi bahasa santun, menyenangkan dan disukai oleh semua khayalak. Berhenti mengucapkan hal-hal yang tidak berguna, seorang berbicara pada saat yang benar, mengenai kenyataan, tepat pada sasaran, tentang Dhamma dan ketekunan, kata-kata yang pantas untuk dihargai, sesuai dengan musimnya, penuh pertimbangan, diterangkan dengan jelas, dan berhubungan dengan tujuan.” (Digha Nikaya, Sutta No.1)
Perbuatan benar memerlukan kita untuk menghindari pembunuhan, pencurian dan perbuatan seksual yang senonoh, dan memerlukan kita untuk melatih kelembutan, kemurahan hati, kendali diri, dan memberikan pertolongan kepada yang lain.

Penghidupan Benar
“Untuk melatih Penghidupan Benar, seorang akan bekerja di pekerjaan yang penuh moral, dan yang menghasilkan sesuatu yang tidak merugikan masyarakat ataupun lingkungan. Seorang tuan akan membayar pekerja-pekerjanya dengan adil, memperlakukan mereka dengan penuh hormat, dan memastikan keadaan kerja yang aman. Seorang pekerja di sisi yang lain akan bekerja secara jujur dan rajin.” (Digha Nikaya, Sutta No.31). Seorang juga hendaknya menggunakan penghasilannya dengan bertanggungjawab – memenuhi kebutuhannya, menghematkannya, dan membagikan sebagian untuk amal.

Usaha Benar
Kepercayaan Kristen tentang Tuhan dan manusia membuat usaha manusia tidak bertalian/berhubungan. Manusia pada dasarnya adalah berakhlak buruk dan orang berdosa yang jahat. “orang miskin didorongnya dari jalan, orang sengsara di dalam negeri terpaksa bersembunyi semuanya.” (Ayub 24:4)
“Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” (Yeremia 17:9)
Tak lebih dari sekedar ulat (Ayub 25:6) manusia tidaklah mampu untuk menjadi baik, dan tidak bisa diselamatkan oleh usaha-usaha mereka sendiri melainkan hanya melalui keagungan Tuhan mereka terselamatkan. Buddhisme, dengan perbedaan yang mencolok, melihat watak dasar manusia sebagai baik dan dalam syarat-syarat yang mendukung, lebih mungkin lagi untuk berbuat kebaikan daripada kejahatan. (Baca Milindapanha 84). Di dalam agama Kristen, manusia bertanggungjawab atas kesalahan yang mereka perbuat semasa hidup mereka tetapi juga manusia bertanggungjawab atas dosa yang diperbuat oleh Adam dan Hawa. (Catatan dari penterjemah: Ayat yang mendukung pernyataan di atas dapat dibaca di Alkitab kitab Kejadian 3:15-19)
Di dalam Buddhisme, manusia bertanggungjawab atas perbuatan yang dia lakukan sendiri saja, dan berhubung watak dasar manusia adalah baik, ini berarti usaha, pengerahan tenaga dan ketekunan sangatlah penting. Sang Buddha berkata:
“Abaikan yang salah. Pengabaian itu bisa dilakukan. Kalau pengabaian ini mustahil, Saya tidak akan mendukung kamu untuk melakukannya. Tetapi berhubung hal ini bisa dilaksanakan, Saya katakan kepadamu: “Abaikan yang salah”. Kalau mengabaikan yang  salah membawa kerugian dan kesedihan, Saya tidak akan mendukung kamu untuk melakukannya. Tetapi berhubung hal ini menghasilkan manfaat dan kebahagiaan, Saya dukung kamu: “Abaikan yang salah”. Tanamkanlah kebaikan. Menanam kebaikan bisa dilakukan. Kalau hal ini tidak bisa dilakukan, Saya tidak akan mendukung kam untuk melakukannya. Tetapi berhubung hal ini bisa dilakukan, Saya katakan kepadamu:”Tanamkanlah kebaikan.” Kalau menanam kebaikan membawa kerugian dan kesedihan, Saya tidak akan mendukung kamu untuk melakukannya. Tetapi berhubung menanam kebaikan menghasilkan maanfaat dan kebahagiaan, Saya dukung kamu:”Tanamkanlah kebaikan.” “(Anguttara Nikaya, Book of Twos, Sutta No.9)

Kesadaran Benar dan Konsentrasi Benar
Dua tahap terakhir dari Delapan Jalan Kebenaran ini secara bersama-sama menjelaskan tentang meditasi, latihan yang penuh kesadaran dan lemah lembut yang pertama-tama adalah mengenal pikiran itu sendiri. Kemudian mengatur pikiran itu, dan terakhir mengubah pikiran itu.
Meskipun kata meditasi muncul sekitar dua puluh kali di dalam Alkitab, tampaknya kata meditasi itu hanya ditujukan kepada latihan sederhana dengan merenungkan ayat-ayat dari tulisan Kitab Suci. (Misalnya Yosua 1:8). Alkitab tampaknya sama sekali meniadakan tehnik-tehnik meditasi yang luas yang ditemukan di tulisan-tulisan Buddhis. Hasilnya adalah, ketika orang-orang Kristen fundamentalis tergoda oleh nafsu-nafsu jahat atau terganggu oleh pikiran-pikiran negatif, satu-satunya yang bisa mereka perbuat adalah berdoa lebih keras. Ketidakhadiran meditasi adalah juga sebab mengapa orang-orang Kristen sering tampak gelisah dan sangat minim akan keagungan. Keagungan yang tenang dan ketidakgelisahan adalah ciri khas dari umat Buddha. (Catatan dari penterjemah: Memang diakui bahwa terdapat banyak umat Buddha yang gelisah, dan berbuat jahat. Akan tetapi ciri khas keagungan dan ketenangan itulah yang juga menjadi sebab umat Buddhis tidak keluar mencari-cari umat baru. Bukan karena sombong atau angkuh, tetapi karena umat Buddhis pada umumnya mengerti bahwa pemaksaan kehendak tidaklah diperlukan jika kita ingin berbuat kebaikan, dan umat Buddha sadar bahwa Dhamma tetap  berlaku kepada semua orang, bukan hanya untuk Buddhis saja.)
“Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!” (Mazmur 46:11) tetapi orang-orang Kristen tidak bisa duduk dengan diam, apalagi berdiam di dalam pikiran walaupun untuk sejenak. Tuhan juga berkata “berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam.” (Mazmur 4:5) yang persis dilakukan oleh umat-umat Buddhis ketika mereka sedang bermeditasi.
Tetapi pelayanan-pelayanan dan doa-doa Kristen karismatik dan penyebar Injil yang fanatik seringkali terlihat seperti perpaduan antara konser musik rock dan kekacauan, dengan pendeta yang berteriak, menggerak-gerakkan tangannya sambil berbicara ketika para jemaat bergoyang kesana-kemari, “mengeluarkan suara tanpa arti”, menangis dan bertepuk tangan. (Catatan dari penterjemah: Perlu para pembaca ketahui, Kristen maupun Buddhis, bahwa inilah kenyataan apa adanya yang telah disampaikan secara jujur, bukan hinaan yang penuh kebohongan. Apa yang dilakukan di dalam Gereja, tampaknya mengandung hal-hal yang tidak sesuai dengan isi Alkitab. Tak jarang pula, sering terdengar bahasa-bahasa yang tidak bisa dimengerti yang diteriakkan di dalam tempat kebaktian, yang sampai hari ini tak seorangpun tau apa arti kata-kata yang diteriakkan itu.)
Kelebihan besar yang dimiliki oleh agama Buddha adalah, bukan hanya kita dinasihati untuk menjadi tenang, damai, bebas dari nafsu-nafsu kotor, dan mempunyai kesadaran diri, tetapi juga menunjukkan kepada kita bagaimana untuk menimbulkan keadaan tenang, damai, bebas dari nafsu dan kesadaran diri itu. Ada meditasi-meditasi yang menghasilkan ketentraman, untuk merubah kekotoran mental, mendukung keadaan mental yang positif, dan juga untuk merubah sikap-sikap yang tidak baik. Dan tentunya, ketika pikiran yang tenang dan bebas dari praduga, ide-ide yang sudah tertanam, dan nafsu-nafsu yang mengganggu, akan lebih bisa melihat segala hal apa adanya. Tidaklah mengherankan bahwa banyak meditasi yang diajarkan oleh Sang Buddha sekarang digunakan oleh para psikologis, ahli jiwa, dan para penasehat.
==============================================================
Bab VIII
Bagaimana Kita Menjawab Pertanyaan Para Penyebar Injil
Sebagai bagian dari usaha mereka untuk mempromosikan iman mereka, para penyebar Injil seringkali menanyakan pertanyaan kepada umat Buddha, yang bertujuan untuk membingungkan atau melemahkan umat Buddha. Kita akan melihat kepada beberapa pertanyaan dan komentar-komentar mereka, dan memberikan jawaban-jawaban Buddhis. (Catatan dari penterjemah: Seringkali tujuan orang-orang Kristen untuk membingungkan dan melemahkan umat Buddha berhasil, karena: 1. Orang Buddhis yang mereka pertanyakan bukanlah orang Buddhis yang sering ke Vihara, atau yang banyak belajar tentang Dhamma. 2. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka tanyakan telah mereka persiapkan berikut jawaban dari mereka sendiri yang semua dari pertanyaan itu adalah berdasarkan KONSEP PIKIRAN DAN MENTAL orang-orang Kristen. Sehingga mereka bisa memberikan jawaban, komentar yang bersifat Kristen pula. Itulah yang membuat orang Kristen KELIHATAN mempunyai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan umat Buddha itu. Pernah sekali saya diajak berdiskusi, seorang penyebar Injil Kristen yang taat ke kebaktian agamanya dan pintar akan Alkitab mengatakan bahwa Sang Buddha bagi orang Buddha setingkat dengan Yesus dalam Agama Kristen, dan Maria perawan suci oleh orang Kristen, setingkat dan sama halnya dengan Dewi Kwan Im. Ini adalah pertanyaan yang bodoh dan menggelikan. Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang menyesatkan dan membingungkan. Dengan dalih, Buddha tidak bisa menyelamatkan manusia, tetapi Yesus bisa.)

Kamu Tidak Percaya Kepada Tuhan, Sehingga Kamu Tidak Bisa Menjelaskan Asal Mula Dunia Ini.
Memang benar Kristen mempunyai penjelasan tentang bagaimana semuanya bermula. Tetapi apakah penjelasan itu benar? Marilah kita teliti. Alkitab mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segalanya dalam enam hari dan pada hari ketujuh, Ia beristirahat. Cerita yang aneh ini tidaklah lebih dari sekedar sebuah dongeng, dan tidak lebih benar daripada dongeng Hindu yang mengatakan para dewa menciptakan semuanya dengan mengocok susu yang sebanyak air di laut, atau kepercayaan kuno bahwa alam semesta ini ditetaskan dari sebutir telur kosmos.
Beberapa bagian dari dongeng penciptaan ini adalah tidak masuk akal. Contohnya, dikatakan pada hari pertama Tuhan menciptakan terang dan gelap tetapi pada hari keempat Dia menciptakan matahari (Kejadian 1:15-16). Bagaimana bisa ada siang dan malam tanpa matahari? Dongeng penciptaan ini juga bertentangan dengan ilmu pengetahuan moderen yang telah membuktikan tentang awal alam semesta, dan bagaimana kehidupan berkembang. Tidak ada bagian di ilmu perbintangan atau biologi di perguruan tinggi manapun di dunia ini yang mengajarkan dongeng penciptaan dengan alasan sederhana, bahwa dongeng tersebut tidak berdasarkan kenyataan. Maka, memang benar Kristen mempunyai penjelasan tentang awal mula sesuatu (seperti halnya kebanyakan agama juga punya penjelasan sendiri), tetapi penjelasan itu hanyalah dongeng belaka. Lalu apa yang Buddhisme katakan tentang awal mula segala sesuatu? Buddhisme mengatakan hal yang sedikit sekali tentang hal ini dan dengan alasan yang sangat masuk akal. Tujuan dari Buddhisme adalah untuk mengembangkan kebijaksanaan dan belas kasihan sehingga bisa mencapai Nibbana. Mengetahui asal mula dunia tidak membantu kita mengembangkan cinta kasih dan kebijaksanaan untuk mencapai Nibbana.
Pernah sekali seorang meminta Sang Buddha untuk memberitahu dia bagaimana alam semesta ini bermula. Sang Buddha mengatakan kepadanya “Kamu seperti orang yang baru saja di panah dengan anak panah beracun, dan ketika dokter datang untuk mencabut anak panah tersebut, kamu mengatakan ‘Tunggu! Sebelum anak panah ini dicabut saya mau tau nama orang yang memanah anak panah ini, dari suku/keluarga mana dia berasal, dari kampung mana dia dilahirkan. Saya ingin mengetahui dari jenis kayu apa busurnya terbuat, bulu apa yang digunakan di ujung anak panah ini, seberapa panjang anak panah ini, dan lain-lain, dan lain-lain.’ Orang itu akan mati sebelum semua pertanyaan itu bisa terjawab. Tugas saya adalah untuk membantu kamu untuk mencabut anak panah penderitaan dari dirimu sendiri.” (Majjhima Nikaya Sutta No.63)
Buddhisme mengkonsentrasikan kepada membantu kita semua memecahkan masalah-masalah hidup – sehingga tidak mendukung tebakan-tebakan yang tidak berguna. Dan jika seorang umat Buddhis ingin mengetahui bagaimana dan awal mula alam semesta, ia akan menanyakan pertanyaan ini kepada seorang ilmuwan.

Agama Buddha Tidak Bisa Diterapkan Karena Dikatakan Kamu Tidak Bisa Membunuh Seekor Semut Sekalipun
Sebelum kita membela ajaran Sang Buddha terhadap vonis tentang ajaran yang tidak bisa diterapkan, marilah kita melihat apakah ajaran Kristen bisa diterapkan. Menurut Yesus, jika seseorang menampar kita di salah satu pipi kita, kita hendaknya memberikan pipi yang lain untuk ditampar juga. (Matius 5:25). Kalau kita menemukan seseorang telah mencuri celana kita, kita harus pergi keluar dan memberikan maling itu pakaian kita juga (Matius 5:30). Jika kita tidak bisa menahan diri dari mencuri, kita harus memotong tangan kita sendiri (Matius 5:30). Kita bisa mengatakan semua ajaran yang tercantum di ayat-ayat di atas tidak bisa diterapkan, meskipun orang Kristen akan lebih suka menyebutnya sebagai tantangan daripada tidak bisa diterapkan. Dan tentunya mereka benar. Untuk bisa memberikan pipi yang lain utuk ditampar sekali lagi tidaklah mudah. Hal ini memerlukan kita untuk mengendalikan amarah kita dan dengan melakukan hal ini bisa menolong untuk mengembangan kesabaran, kerendahan hati, tidak membalas, dan cinta kasih. Kalau kita tidak tertantang kita tidak akan maju.
Sang Buddha meminta kita untuk menghormati semua mahluk, bahkan mahluk-mahluk yang rendah. Mengenai memberikan pipi yang lain, ini tidaklah selalu mudah. Seperti bagi banyak orang, mahluk-mahluk seperti semut bisa sangat mengganggu dan tidak menyenangkan. Ketika kita bertekad untuk tidak membunuh dan berusaha untuk menjalankan tekad itu, kita tertantang untuk menimbulkan kesabaran, kerendahan hati, cinta kasih dan sebagainya. Jadi dengan meminta kita menghormati semua jenis kehidupan, ajaran Buddhis dan ajaran Kristen sama saja sulit untuk diterapkan.

Sang Buddha Telah Mati, Maka Dia Tidak Bisa Menolong Dirimu
Umat Buddhis terkadang mengalami kesulitan untuk menjawab secara benar ketika orang Kristen mengatakan hal ini. Akan tetapi kalau kita mengetahui Dhamma dengan baik, akan dengan sangat mudah kita bisa menyangkal pernyataan seperti itu. Karena pernyataan seperti itu dan juga pernyataan-pernyataan yang sering orang Kristen ucapkan tentang agama Buddha adalah berdasarkan kesalahpahaman.
Pertama-tama, Sang Buddha tidaklah mati. Beliau telah mencapai Nibbana, sebuah keadaan yang bebas dan damai sama sekali. Nama lain yang diberikan Sang Buddha kepada Nibbana adalah Keadaan Yang Tidak Mati (Amita) karena setelah seorang mencapai Nibbana, orang itu tidak akan terlahir lagi, dengan tidak terlahir, maka ia juga tidak mati. Tentu saja Nibbana bukanlah “kehidupan abadi” yang naif seperti yang digambarkan di Alkitab, di mana badan dibangkitkan dan malaikat bernyanyi. Kenyataannya, Nibbana itu sangat halus sehingga tidak mudah untuk dijelaskan. Akan tetapi Nibbana bukanlah ketidakadaan, seperti yang telah Sang Buddha jelaskan. (Majjhima Nikaya Sutta No72; Sutta Nipata, Verse 1076)
Dan juga sama tidak benarnya untuk mengatakan bahwa Buddha tidak bisa menolong kita. Selama empat puluh tahun, Sang Buddha menjelaskan dengan sangat mendetil dan dengan kejelasan yang mengagumkan, semua yang kita perlukan untuk mencapai Nibbana. Semua yang kita perlukan untuk lakukan adalah untuk mengikuti petunjuk-petunjuk beliau. Kata-kata Beliau sangatlah membantu dan berlaku di jaman sekarnag, seperti halnya sangatlah membantu dan berlaku di saat pertama kali diajarkan 2500 tahun yang lalu. Tentu saja Buddha tidak membantu kita dengan cara yang diambil Yesus menurut orang Kristen. Dan Buddha tidak membantu demikian dengan alasan yang sangat baik. Jika seorang murid tau bahwa sewaktu ujian dia bisa menanyakan jawaban atas pertanyaan ujian kepada gurunya, dia tidak akan belajar, sehingga dia tidak akan pernah bisa tau dan berusaha sendiri. Jika seorang olahragawan tahu bahwa hanya dengan meminta juri untuk memberi dia kemenangan, dia tidak akan peduli untuk melatih tubuh dan memajukan prestasinya. Sekedar memberi apa yang orang minta tidaklah menolong mereka dengan benar. Bahkan kenyataannya, hal itu hanya akan memastikan bahwa orang yang meminta itu akan tetap lemah, penuh ketergantungan dan malas.
Sang Buddha memberi petunjuk menuju Nibbana dan mengajarkan kita bekal-bekal apa yang kita perlukan untuk perjalanan menuju Nibbana. Seiring dengan perjalanan itu, kita akan belajar dari pengalaman-pengalaman kita dan dari kesalahan-kesalahan kita, meningkatkan kekuatan, kedewasaan dan kebijaksanaan. Hasilnya ketika kita selesai menempuh perjalanan ini, kita akan menjadi orang-orang yang berbeda sama sekali dibandingkan dengan kita sewaktu memulai perjalanan. Berkat bantuan Sang Buddha yang cermat kita akan mencapai Kesunyataan.
Maka untuk mengatakan bahwa Sang Buddha telah mati dan tidak bisa menolong kita tidak hanya salah, tetapi juga secara tidak langsung mengatakan bahwa Yesus itu hidup dan bisa menolong dirimu. Marilah kita lihat kepada pendapat ini. Orang-orang Kristen menyatakan bahwa Yesus itu hidup, tetapi bukti apa yang ada tentang hal ini? Mereka akan mengatakan bahwa Alkitab membuktikan Yesus bangkita di antara orang-orang mati. Sungguh sial, pernyataan-pernyataan  yang ditulis oleh beberapa orang beberapa ribu tahun yang lalu  tidaklah membuktikan apa-apa. Sebuah pernyataan di Mahabharata (salah satu Kitab Suci orang Hindu) mengatakan bahwa seorang suci mempunyai kendaraan yang bisa terbang. Tetapi apakah ini membuktikan bahwa orang India kuno menemukan pesawat terbang? Tentu saja tidak. Tulisan-tulisan kuno Mesir mengatakan bahwa Dewa Khnum menciptakan segalanya dari tanah yang dia bentuk dari roda pembuat kendi. Apakah ini membuktikan bahwa semua yang ada itu adalah tanah? Tentu saja tidak. Sebuah ayat di dalam Perjanjian Lama mengatakan seorang bernama Balaam mempunyai keledai yang bisa berbicara. Apakah ayat itu membuktikan bahwa semua binatang bisa berbicara? Tentu saja tidak.
Kita tidak bisa secara tidak menanyakan secara kritis, menerima klaim yang dibuat oleh Alkitab ataupun kitab suci lain bulat-bulat. Ketika kita meneliti klaim-klaim tentang kebangkitan Yesus, kita telah menemukan alasan yang sangat baik untuk tidak percaya kepada klaim-klaim tersebut. Bahkan, Alkitab sendiri membuktikan bahwa Yesus tidaklah hidup. Sebelum Yesus disalibkan, Yesus memberitahu murid-muridnya bahwa dia akan kembali sebelum yang terakhir dari mereka mati. (Matius 10:23, 16:28, Lukas 21:32). Hal itu diucapkan 2000 tahun yang lalu. Yesus masih belum kembali. Mengapa? Tentunya karena dia sudah mati.
Pendapat kedua bahwa Yesus selalu menjawab ketika kamu berdoa kepadanya. Sangatlah mudah untuk membuktikan bahwa ini tidak benar. Orang-orang Kristen meninggal karena penyakit, ketidakberuntungan, mempunyai masalah-masalah emosi, menyerah ke dalam godaan, dll seperti halnya orang yang tidak beragama Kristen. Padahal orang Kristen memohon pertolongan dari Yesus lewat doa-doa mereka. Saya mempunyai seorang teman yang Kristen yang beriman untuk selama bertahun-tahun. Secara bertahap dia mulai ragu dan meminta bantuan dari pendeta. Sang pendeta memberi petunjuk kepadanya untuk berdoa, dan bahkan meminta anggota gereja untuk berdoa bagi teman ini. Akan tetapi, meskipun semua doa ke Yesus untuk kekuatan dan petunjuk, keraguan teman saya ini semakin bertambah, dan akhirnya meninggalkan gereja. Kemudian dia menjadi umat Buddha. Jika Yesus benar-benar hidup dan siap membantu, mengapa orang-orang Kristen mempunyai problem yang sama banyaknya dengan orang-orang non-Kristen? Mengapa Yesus tidak menjawab doa-doa teman saya dan membantunya untuk tetap menjadi orang Kristen? Tentunya karena Yesus telah mati dan tidak bisa membantu.
Dalam menjawab sangkalan ini, orang-orang Kristen akan mengatakan bahwa ada orang-orang yang bisa bersaksi bahwa doa-doa mereka telah dijawab (terkabulkan). Kalau benar demikian, orang-orang yang beriman kepada Islam, Hindu, Seikh, Tao, Shinto, Kuan Im juga bisa memberikan kesaksian yang sama.

Tidak Seperti Kristiani, Buddhisme Menganut Paham Yang Pesimis
Menurut kamus Webster, pesimisme adalah “kepercayaan bahwa kejahatan di dalam hidup ini melebihi kebaikan” – “the belief that evil in life outweighs the good”. Adalah hal yang menarik bahwa orang-orang Kristen menuduh umat-umat Buddha pesimis karena justru pendapat bahwa kejahatan melebihi kebaikan adalah ajaran pusat agama Kristen, bukan ajaran pokok Buddha. Dua ayat Alkitab yang orang Kristen fanatik yang paling suka kutip adalah “Seperti ada tertulis: Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.”(Roma 3:10) dan “Sesungguhnya, di bumi tidak ada orang yang saleh: yang berbuat baik dan tidak pernah berbuat jahat.” (Pengkhotbah 7:20). Ajaran tentang Dosa Asal mengajarkan bahwa semua manusia adalah pembuat dosa, tidak bisa melepaskan dirinya sendiri dari dosa, dan kejahatan di dalam diri kita lebih kuat daripada kebaikan (Roma 7:14-24). Orang-orang Kristen akan mengatakan memang benar demikian, kita bisa terbebas dari dosa jika kita menerima Yesus. Mungkin kita bisa terbebas kalau menerima Yesus, tetapi kenyataan mengatakan bahwa orang-orang Kristen membutuhkan Yesus karena pandangan orang Kristen tentang watak dasar manusia yang pesimis sama sekali.
Ajaran Sang Buddha, di sisi yang lain, mempunyai pandangan sangat berbeda dan lebih nyata tentang watak dasar manusia. Sementara menyadari bahwa manusia bisa berbuat jahat, Buddhisme mengajarkan kita untuk menaklukkan kejahatan dan melakukan kebaikan melalui usaha kita sendiri. (Catatan dari penterjemah: Pesimis juga sering diartikan orang tidak mau berusaha karena tau bahwa apapun yang diusahakan akan gagal. Apakah ajaran Sang Buddha pesimis? Justru Sang Buddha mendukung kita berusaha karena kita bisa melepaskan diri dari penderitaan, karena ajaran Sang Buddha yang diusahakan dan dijalankan akan berhasil. Karena penderitaan itu BISA ditaklukkan, itu adalah pandangan yang SANGAT OPTIMIS. Jadi pendapat orang Kristen bahwa ajaran Sang Buddha pesimis adalah omong kosong yang bodoh.)
“Abaikan yang salah. Pengabaian itu bisa dilakukan. Kalau pengabaian ini mustahil, Saya tidak akan mendukung kamu untuk melakukannya. Tetapi berhubung hal ini bisa dilaksanakan, Saya katakan kepadamu: “Abaikan yang salah”. Kalau mengabaikan yang salah membawa kerugian dan kesedihan, Saya tidak akan mendukung kamu untuk melakukannya. Tetapi berhubung hal ini menghasilkan manfaat dan kebahagiaan, Saya dukung kamu: “Abaikan yang salah”.  Tanamkanlah kebaikan. Menanam kebaikan bisa dilakukan. Kalau hal ini tidak bisa dilakukan, Saya tidak akan mendukung kam untuk melakukannya. Tetapi berhubung hal ini bisa dilakukan, Saya katakan kepadamu:”Tanamkanlah kebaikan.” Kalau menanam kebaikan membawa kerugian dan kesedihan, Saya tidak akan mendukung kamu untuk melakukannya. Tetapi berhubung menanam kebaikan menghasilkan maanfaat dan kebahagiaan, Saya dukung kamu:” Tanamkanlah kebaikan.” “(Anguttara Nikaya, Book of Twos, Sutta No.9)
Entah seorang setuju atau tidak terhadap ajaran Sang Buddha, tentunya orang itu tidak akan mengatakan ajaran Sang Buddha itu pesimistis.

Yesus Mengajarkan Kita Untuk Mengasihi Tetapi Buddhisme Mengajarkan Kita Untuk Menjadi Dingin Dan Tak Berperasaan
Ini tidaklah benar. Sang Buddha berkata kita hendaknya mengembangkan cinta kasih yang hangat dan penuh perhatian kepada semua manusia (Catatan dari penterjemah: Dan semua makhluk)
Seperti ibu yang bersedia melindungi anak satu-satunya meskipun dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri, demikian juga seseorang hendaknya menghasilkan cinta kasih tak bersyarat kepada semua mahluk. (Sutta Nipata Verse 150)
Dalam semua segi, cinta kasih itu sama pentingnya dan ditekankan bagi ajaran agama Buddha dan Kristiani. Akan tetapi ada sesuatu yang merusak praktek cinta kasih orang-orang Kristen. Desakan mereka yang keras suaranya mengatakan bahwa hanya merekalah yang mempunyai cinta kasih, dan kualitas dari cinta kasih mereka jauh lebih unggul daripada cinta kasih lain, dan penghinaan juga ejekan mereka yang terus menerus kepada usaha orang lain untuk melaksanakan cinta kasih membuat mereka terlihat berbeda sama sekali dari yang lain. Begitu picik dan cemburunya beberapa orang Kristen sampai mereka tidak bisa memuji atau menghargai kualitas cinta kasih yang sama indahnya, kecuali ada tulisan “Buatan  Yesus” tertempel di atasnya.

Kamu Mengklaim Bahwa Setelah Meninggal, Kita Akan Dilahirkan Kembali, Tetapi Tidak Ada Bukti Nyata Adanya Kelahiran Kembali.
(Catatan dari penterjemah: Kelahiran kembali atau reinkarnasi adalah salah satu topik yang cukup luas dan perlu diterangkan secara terperinci. Untuk itu, para pembaca disarankan untuk mencari buku-buku Buddhis secara umum, yang mana terdapat satu bab khusus tentang “kelahiran kembali” atau “reinkarnasi” atau “tumimbal lahir”. Buku-bukut tersebut tersedia secara gratis kalau Anda pergi ke Vihara ataupun ke perpustakaan umum. Alasan mengapa muncul pernyataan seperti yang tertera di atas, karena sekali lagi orang Kristen telah menggunakan logika, mental, dan pengetahuan Kristiani mereka dalam mempertanyakan sesuatu. Satu hal yang pasti: Alam sesudah kematian yang berakibatkan tumimbal lahir telah mempunyai dasar kuat untuk dijadikan bukti. Surga orang Kristen di lain pihak, sampai sekarang belum terbukti ada.)
Sebelum kita memberi jawaban, marilah kita membandingkan teori-teori sesudah kematian dari agama Kristen dan Buddha. Menurut Kristiani, Tuhan menciptakan sebuah jiwa (roh) baru yang menjadi manusia yang hidup lalu mati. Setelah kematian, jiwa itu (roh) itu akan pergi ke surga abadi kalau percaya kepada Yesus, atau ke neraka abadi kalau ia tidak percaya kepada Yesus. Menurut Buddhisme, adalah tidak mungkin untuk megira-ngira awal mutlak atas keberadaan sesuatu. Setiap mahluk hidup, mati dan dilahirkan kembali ke dalam keberadaan baru. Proses mati dan dilahirkan kembali ini adalah suatu proses yang alamai dan dapat berlangsung selamanya kecuali ia mencapai Nibbana. Ketika satu mahluk mencapai Nibbana, pengertian mereka dan secara pasti juga kelakuan mereka berubah. Kelakuan yang berubah inilah yang juga merubah proses yang menyebabkan kelahiran kembali.
Jadi bukan dilahirkan kembali, melainkan menjadi keberadaan baru yang mencapai Nibbana. Nibbana bukanlah keberadaan (untuk menjadi ada (dalam arti mahluk) berarti mempunyai reaksi terhadap indera, untuk tumbuh, membusuk, untuk berpindah dalam waktu dan ruang, untuk dilahirkan kembali menjadi mahluk baru, dll). Nibbana juga bukanlah ketidakberadaan, dalam arti Nibbana bukanlah penghancuran. Dalam kata lain, keberadaan suatu mahluk itu tidak ada awalnya dan tidak ada akhirnya kecuali Nibbana dicapai. Mencapai Nibbana adalah satu-satunya alasan untuk hidup. (Catatan dari penterjemah: Para pembaca mungkin kurang bisa menyerap arti yang tertulis di atas.  Yang dimaksudkan adalah: Nibbana bukanlah kekosongan atau kehancuran dari yang hidup, tetapi bukan juga keberadaan atau tempat kehidupan (dalam arti hidup, karena untuk hidup berarti untuk mempunyai unsur Lima Kandha seperti yang dijelaskan sebelumnya).)
Ada bukti yang sedikit sekali tentang kedua teori ini. Tetapi, ada beberapa masalah logika dan moral terhadap teori orang Kristen, yang mana teori Buddhis tidak punya masalah tersebut sehingga teori Buddhis lebih bisa diterima. Kristiani melihat keberadaan (existence) itu sebagai sesuatu yang memiliki awal tapi tidak memiliki akhir, sedangkan Buddhisme melihat keberadaan ini sebagai suatu siklus perputaran. Tidak ada satu contohpun di alam yang mempunyai awal tapi tidak mempunyai akhir. Malahan, semua proses alam yang kita perhatikan mempunyai siklus perputaran. Musim-musim datang dan pergi dari tahun ke tahun. Hujan turun, air hujan mengalir ke laut, menguap, membentuk awan dan turun lagi menjadi hujan. Tubuh kita mencerna unsur-unsur dalam bentuk makanan; ketika kita meninggal, tubuh akan membusuk dan melepaskan unsur-unsur itu ke dalam tanah, yang kemudian diisap lagi oleh tanaman dan binatang yang kembali akan di makan. Planet-planet mengelilingi matahari, dan bahkan galaksi tempat tata surya kita berada juga berputar secara perlahan-lahan. Teori umat Buddha tentang kelahiran kembali sangatlah sejalan dengan proses siklus perputaran alam, sedangkan teori Kristiani tidak sejalan dengan proses siklus perputaran alam.
Orang-orang Kristen mengatakan bahwa Tuhan menciptakan kita dengan satu tujuan – supaya kita percaya kepadaNya dan terselamatkan. Kalau benar demikian, akan sangat sulit untuk menjelaskan mengapa tiap tahun jutaan janin tergugurkan, jutaan bayi dilahirkan mati atau meninggal dalam dua tahun pertama kehidupan mereka. Lebih jauh lagi, jutaan orang dilahirkan dan hidup dalam kehidupan dengan kerusakan mental yang parah, tidak bisa berpikir secara normal. Bagaimana semua yang dijelaskan di atas itu bisa masuk ke dalam rencana Tuhan? Tujuan apa yang dimiliki Tuhan dalam menciptakan kehidupan dan membiarkan mereka mati bahkan sebelum dilahirkan atau hidup sementara? Apa yang terjadi dengan orang-orang itu? Apakah mereka pergi ke surga atau ke neraka? Kalau Tuhan benar-benar menciptakan kita dengan rencana dibenakNya, rencana itu tentunya tidaklah jelas. Dan juga kebanyakan dari penduduk dunia bukanlah orang Kristen, dan seperti yang kita ketahui bahkan tidak semua orang Kristen itu diselamatkan. Ini berarti jumlah ciptaan Tuhan yang akan dibuang masuk ke neraka akan jauh lebih banyak. Rencana Tuhan untuk menyelamatkan semua manusia ciptaannya telah berjalan dengan sangat tidak benar. Sehingga meskipun kita tidak bisa membuktikan kedua teori dari kedua agama, ajaran Buddhis ternyata lebih menarik dan masuk akal. (Catatan dari penterjemah: Kebanyakan dari orang-orang Kristen bisa dengan lantang mengatakan bahwa HANYA dengan percaya, mereka bisa terselamatkan. Itu karena kebanyakan dari mereka hidup dan serba berkecukupan. Apa yang bisa dijelaskan orang Kristen tentang janin-janin yang gugur itu? Apa yang bisa dijelaskan orang Kristen tentang orang yang tidak bisa percaya karena mentalnya yang rusak dari lahir? Adilkah Tuhan? Orang belum bisa dan atau sempat percaya saja sudah dimatikan. Tentunya sangat tidak adil! Mungkin adil bagi orang Kristen yang hidup enak dan berkecukupan, karena mereka belum pernah merasakan ketidakadilan itu, atau sedikit dari mereka yang merasakan ketidakadilan itu. Karena mereka bukanlah janin-janin yang mati itu. Karena mereka bukanlah orang yang cacat mental. Meskipun KALAU Tuhan orang Kristen itu ada, tentunya Tuhan mereka tidaklah Maha segalanya seperti yang mereka teriakkan secara lantang!) (Catatan dari penterjemah: Untuk mengingatkan kembali Kejadian 6:6-7, TUHAN Allah menyesal atas ciptaan-Nya. Ini membuktikan 2 hal: Pertama, Tuhan tidaklah sempurna karena tidak bisa menciptakan kesempurnaan. Kedua, Tuhan tidaklah sempurna karena bisa merasakan penyesalan.)

Kalau Benar Kita Dilahirkan Kembali, Bagaimana Kamu Menjelaskan Meningkatnya Jumlah Penduduk Dunia?
Ketika semua mahluk mati, tidaklah harus untuk terlahir lagi menjadi mahluk yang sama. Misalnya, seorang manusia bisa saja terlahir sebagai seekor binatang, atau mungkin terlahir sebagai mahluk dewa, tergantung karmanya sendiri. Kenyataan bahwa adanya peningkatan jumlah manusia di dunia mengartikan bahwa lebih banyak binatang mati yang terlahir menjadi manusia. (Telah terdapat hubungan yang erat dengan menurunnya jumlah binatang di dunia karena kepunahan dan sebab kematian lain seperti dikonsumsi manusia, dll) dan juga banyak manusia yang dilahrikan kembali menjadi manusia. Mengapa demikian? Mengapa banyak binatang yang terlahir menjadi manusia memang sulit untuk dijelaskan. (Catatan dari penterjemah: Tentunya dalam kehidupan sebelum menjadi binatang, mereka pernah berbuat karma yang sangat baik sehingga karma baik itu berbuah dan mereka terlahir menjadi manusia.)
Tetapi ada penjelasan mengapa semakin banyak manusia yang terlahir kembali menjadi manusia. Itu disebabkan oleh semakin menyebarnya pengetahuan akan ajaran-ajaran Sang Buddha. Bahkan di tempat di mana Dhamma tidaklah dikenal secara umum, kebaikan tetap saja ada dan diperbuat. Semua ini adalah penyebab meningkatnya jumlah penduduk dunia. (Catatan dari penterjemah: Perlu diingat oleh para pembaca, meskipun Dhamma tidak dikenal, Dhamma itu juga terlaksana. Mengapa? Karena Dhamma hanyalah sebuat merek atau nama yang kita berikan kepada ajaran-ajaran Buddha. Dan ajaran-ajaran Sang Buddha itu adalah berintikan kebaikan yang universal.)
Nibbana adalah tujuan yang tidak bisa terlaksana karena membutuhkan waktu yang lama untuk mencapainya. Meskipun ada bisa mencapainya, jumlahnya sangatlah sedikit.
Memang benar dalam mencapai Nibbana diperlukan waktu yang sangat lama, tetapi di sisi yang lain, kelahiran kembali memberikan kita banyak peluang dan waktu untuk mencapai Nibbana. Kalau seseorang tidak melakukannya di dalam kehidupan ini, dia bisa terus berusaha di kehidupan berikutnya. Sebenarnya, panjangnya waktu yang diperlukan itu adalah sepanjang yang diinginkan oleh orang itu. Sang Buddha berkata bahwa bila seseorang benar-benar ingin mencapai Nibbana, orang itu bisa mencapai Nibbana dalam waktu tujuh hari (Majjhima Nikaya, Sutta No.10). “The Buddha says that if one really wants, one can attain Nirvana within seven days” – Majjhima Nikaya Sutta No.10.

Kalau Benar Demikian, Orang Kristen Akan Menanyakan, Mengapa Tidak Semua Orang Buddha Mencapai Nibbana?
Dengan Sangat Mudah dijawab kejadian-kejadian duniawi (Catatan dari penterjemah: tali percintaan, kesedihan, kemarahan, kenikmatan akan indera seperti kenikamatan mata, sentuhan,perasaan – semuanya dari itu juga dialami oleh semua manusia) masih sangatlah menarik bagi banyak umat Buddha. Seiring dengan bertambahnya pengetahuan dan pengertian yang mendalam, ketertarikan itu akan secara bertahap berkurang dan hilang, sehingga langkah demi langkah, menurut cepatnya langkah masing-masing (Catatan dari penterjemah: jumlah karma baik dan karma buruk), menuju Nibbana.
Tentang pernyataan bahwa hanya sedikit yang bisa mencapai Nibbana, ini tidaklah benar. Sementara di dalam Kristiani, seorang hanya mempunyai satu kesempatan untuk diselamatkan, ajaran Sang Buddha menjelaskan bahwa dengan kelahiran kembali, seorang mempunyai kesempatan yang tak terbatas banyaknya untuk mencapai Nibbana. Ini juga mengartikan bahwa semuanya akan terbebaskan secara perlahan-lahan. Seperti yang Kitab Buddhis katakan:
“Keadaan tidak mati ini telah dicapai oleh banyak, dan akan tetap bisa dicapai hari ini oleh siapapun juga yang berusaha. Tetapi tidak akan dicapai bagi mereka yang tidak berusaha.” (Therigatha, verse 513)
Dalam Kristiani, sejarah mempunyai arti penting, dan sejarah itu bergerak menuju satu tujuan. Sedangkan paham Buddhisme tentang siklus perputaran hidup mengartikan bahwa sejarah tidak ada artinya dan paham inilah yang membuat umat Buddhis dianggap pesimis dan tidak berbeda satu sama lainnya.
Memang benar bahwa menurut sejarah Buddhisme, sejarah tidaklah bergerak menuju suatu tujuan. Tetapi siapapun yang menjalankan Delapan Jalan Kebenaran tentunya akan menuju ke satu tujuan. Ia akan secara pasti bergerak menuju kedamaian dan kebebasan dalam Nibbana.
Seperti air sungai Gangga yang mengalir, meluncur, mengarah ke timur, demikian juga barang siapa yang melakukan dan berbuat banyak di dalam Delapan Jalan Kebenaran, mengalir, meluncur mengarah ke Nibbana. (Samyutta Nikaya, Great Chapter, Sutta No.67)
Jadi memang benar untuk mengatakan bahwa Buddhisme lebih nyata akan pandangannya tentang keberadaan, juga bahwa sejarah tidaklah menuju ke satu tujuan. Dan apa puncak sejarah yang dihadapi oleh orang Kristen? Kiamat, di mana manusia dalam jumlah yang banyak dan semua hasil karya manusia akan dihancurkan oleh hujan belerang dan api. Bahkan segelintir orang yang terselamatkan dari kiamat akan menghadapi keabadian yang suram di surga, menyadari bahwa setidaknya seorang dari anggota keluarga dan teman mereka, yang pada saat yang sama (abadi), dihukum di neraka. Akan sangatlah sulit untuk membayangkan masa depan yang lebih mengerikan daripada yang satu ini.
Sang Buddha menyontek ide karma dan kelahiran kembali dari agama Hindu Hindu memang mengajarkan tentang karma dan reinkarnasi (kelahiran kembali). Tetapi versi-versi mereka tentang kedua topik ajaran ini adalah sangat berbeda dari versi agama Buddha. Contohnya, ajaran Hindu mengatakan bahwa kita ditentukan oleh karma kita sedangkan agama Buddha menjelaskan bahwa karma hanyalah syarat bagi kita. Menurut ajaran Hindu, sebuah roh abadi (atman) berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain sedangkan ajaran agama Buddha tidak mengakui adanya roh (anatman), melainkan aliran energi mental yang terus menerus berubah yang terlahirkan kembali. Contoh di atas hanyalah dua dari banyak perbedaan antara ajaran Hindu dan ajaran Buddha tentang karma dan kelahiran kembali.
Akan tetapi, meskipun jikalau ajaran agama Buddha dan Hindu itu sama, ini tidak berarti bahwa Buddha telah dengan sembarangan menyontek ide dari agama lain. Terkadang memang terjadi bahwa dua orang, yang saling terpisah dan tidak berhubungan, menemukan penemuan yang sama. Satu contoh yang baik adalah tentang ditemukannya teori evolusi manusia. Di tahun 1858, persis sebelum Charles Darwin menerbitkan bukunya “The Origin of the Species”, secara kebetulan ada orang lain yang bernama Russell Wallace, juga telah menyusun ide evolusi yang persis sama dengan yang disusun oleh Charles Darwin. Darwin dan Wallace tidak saling menyontek; melainkan dengan mempelajari kenyataan alam yang ada, mereka menyusun kesimpulan yang sama secara sendiri-sendiri.
Maka, jika ide-ide Hindu tentang karma dan kelahiran kembali tampaknya sama persis dengan ide-ide Buddhis tentang karma dan  kelahiran kembali (tetapi ide-ide kedua agama tentang topik tersebut berbeda), tetap saja tidak terbukti bahwa Sang Buddha menyontek. Kenyataannya adalah orang-orang suci Hindu mendapatkan ide-ide yang samar-samar tentang karma dan kelahiran kembali melalui pengetahuan yang mereka kembangkan lewat meditasi. Yang kemudian diajarkan oleh Sang Buddha (Catatan dari penterjemah: yang telah mencapai Penerangan Sempurna lewat meditasi) dengan lebih lengkap dan tepat.

Yesus Mengampuni Dosa-Dosa Kita, Tetapi Buddhisme Mengatakan Bahwa Kamu Tidak Akan Pernah Bisa Melarikan Diri Dari Akibat-Akibat Karmamu Sendiri
Tidaklah seluruhnya benar bahwa Yesus itu mengampuni dosa-dosa kita. Menurut ajaran Kristiani, setelah manusia diciptakan, mereka akan hidup selamanya – pertama, untuk beberapa puluh tahun di dunia dan kemudian hidup selamanya di surga atau neraka. Yesus akan mengampuni dosa-dosa orang ketika mereka hidup di dunia ini, tetapi menolak untuk mengampuni mereka yang telah dihukum di neraka, tidak peduli berapa kali mereka memohon dan bertobat. Sehingga pengampunan Yesus itu hanya terbatas dalam waktu hidup sementara di dunia, dan kemudian tidak mau memaafkan lagi kalau orang itu masuk neraka. Maka kebanyakan orang tidak akan pernah bisa melarikan diri dari akibat dosa mereka.
Dapatkah umat Buddhis melarikan diri dari karma mereka sendiri? Ajaran tentang karma mengajarkan bahwa setiap kelakuan (kamma) mempunyai akibat (vipaka). Tetapi akibatnya tidaklah selalu sama dengan penyebabnya. Contohnya, jika seorang mencuri sesuatu, kelakuan ini akan membawa akibat buruk. Tetapi jika setelah mencuri orang tersebut menyesal, mengembalikan barang yang dicuri, dan dengan tulus berjanji akan berusaha lebih berhati-hati di masa yang akan datang, akibat buruk itu akan tetap ada tetapi sudah tidak sekuat akibatnya kalau dia tidak menyesal.
Tetapi walaupun si pencuri itu tidak mengakui kesalahannya, tetapi melakukan kebaikan yang lain, dia akan terbebas dari kesalahan itu setelah karmanya berbuah. Jadi menurut ajaran agama Buddha, kita bisa terbebas dari karma kita dengan membayar karma tersebut, sedangkan menurut ajaran Kristiani, dosa-dosa kita hanya akan dimaafkan dalam jangka waktu yang begitu pendek. (Catatan dari penterjemah: Satu contoh logika yang menggambarkan adilnya karma adalah contoh tentang sesendok garam. Jika sesendok garam dimasukkan ke dalam mulut, rasa asinya tentu saja sangat luar biasa. Tetapi jika sesendok garam itu dimasukkan ke dalam segelas air, rasa asin itu akan berkurang. Dan kalau sesendok garam itu dimasukkan ke dalam segentong air, garam itu tetap tidak akan berkurang dalam jumlah, tetapi karena jumlah airnya yang banyak rasa asin itu akan jauh berkurang. Demikianlah juga dengan karma kita. Kalau kita berbuat buruk dan tidak menyesali ataupun memperbaikinya, karma buruk itu akan berbuat setimpal seperti sesendok garam yang dimasukkan ke dalam mulut. Tetapi jika perbuatan buruk itu disesali dan kemudian banyak berbuat baik (menambah banyak air ke dalam gentong yang berisi sesendok garam), akibat yang berbuah juga akan menjadi ringan.)
Ada banyak segi yang mana ajaran Karma lebih baik daripada pendapat orang Kristen tentang pengampunan dosa dan penghukuman. Di dalam Buddhisme, ketika seseorang mungkin harus menerima akibat-akibat buruk dari karma jahatnya yang telah dia perbuat (yang tentu saja adil), ini juga berarti bahwa orang tersebut juga pasti menerima akibat-akibat baik dari karma baik yang pernah dibuatnya.
Tetapi tidak demikian halnya dengan ajaran Kristen. Contohnya, seorang yang bukan beragama Kristen yang jujur, penuh kesabaran, murah hati, dan baik hati, tetapi meskipun baik, setelah meninggal orang ini akan masuk ke neraka abadi dan tidak menerima imbalan atas segala kebaikannya yang pernah dia perbuat.
Lebih jauh lagi, menurut ajaran tentang karma, akibat-akibat yang kita terima dan rasakan, adalah dalam proporsi yang setimpal hasil dari sebabnya – kalau tidak ada faktor lain. (Catatan dari penterjemah: Contoh sesendok garam itu adalah contoh yang baik untuk kita renungkan kembali. Kalau tidak ada faktor perbuatan baik yang kita kumpulkan (menuangkan air), rasa asin sesendok garam itu haruslah dirasakan sepenuhnya. Itulah yang diartikan di paragraf ini).
Tetapi tidak demikian halnya di dalam ajaran Kristen. Meskipun seseorang telah berbuat sangat banyak kejahatan dalam hidupnya, hukuman neraka abadi adalah hukuman yang tidak proporsional sama sekali. Bagaimana jauh lebih tidak proporsionalnya hukuman yang sama (neraka abadi) dijatuhkan kepada orang berbudi baik yang bukan Kristen? Tentunya keabadian di neraka, dan pendapat yang dihujat oleh orang-orang yang bukan Kristen, berasal dari ajaran yang menampilkan keraguan yang serius terhadap Tuhan yang Maha Adil dan Maha Pengasih dan Penyayang. Kristiani telah menyebar luas ke hampir setiap negara di dunia dan mempunyai lebih banyak pengikut dari agama apapun di dunia, maka agama Kristen pastilah benar.
Memang benar agama Kristen telah menyebar luas, tetapi bagaimanakah penyebaran ini terjadi? Sampai ke abad 15, agama Kristen hanya terbatas di benua Eropa saja. Setelah abad 15, tentara-tentara Eropa menyebar ke seluruh dunia memaksakan agama mereka kepada orang-orang yang mereka jajah. Di kebanyakan negara yang dijajah (seperti Sri Lanka, Filipina, Taiwan dan beberapa bagian dari India) dibuat hukum-hukum untuk melarang semua agama selain agama Kristen. Sampai ke akhir abad ke-19, kekerasan yang keji tidak lagi dipakai untuk memaksakan agama Kristen, tetapi di bawah pengaruh penyebar-penyebar Injil, petugas-petugas negara penjajah mencoba menghalangi agama-agama non-Kristen sebanyak mungkin.
Hari ini, penyebaran agama Kristen didukung oleh bantuan keuangan yang berlimpah yang para penyebar Injil dapatkan kebanyakan dari Amerika Serikat. Maka agama Kristen tidaklah tersebar karena ajarannya yang dianggap paling mulia, melainkan karena faktor-faktor lain.
Tentang apakah agama Kristen adalah agama yang paling banyak penganutnya di dunia ini. Dapatkah kita memasukkan orang-orang Mormon, Kesaksian Yehova, Moonies sebagai orang Kristen? Bisakah kita memasukkan kumpulan-kumpulan dan sekte-sekte aneh yang berkembang di Amerika Selatan dan Afrika yang jumlahnya mencapai jutaan itu sebagai orang-orang Kristen? Bahkan hampir semua orang Protestan tidak menganggap orang Katolik sebagai orang Kristen! (Catatan dari penterjemah: Begitulah kenyataan yang ada. Orang Kristen yang sering menghina Katolik dan tidak menganggap orang Katolik sebagai orang Kristen. Tetapi kalau orang-orang Kristen sedang berusaha untuk mengajak orang berpindah agama, banyak dari mereka akan menganggap orang Katolik sebagai orang Kristen untuk membanggakan banyaknya pengikut Kristiani.)
Kalau kita tidak mengakui semua aliran-aliran aneh dan sesat agama Kristen sebagai ‘Kristen Sejati’, maka ini mungkin akan membuat agama Kristen sebagai salah satu agama terkecil di dunia. Ini juga tentunya menjelaskan mengapa Alkitab mengatakan bahwa hanya 144.000 (Seratus empat puluh empat ribu) orang yang akan diselamatkan pada Hari Pengadilan Terakhir. (Wahyu 14:3-4). Tetapi walaupun jikalau agama Kristen adalah agama yang paling banyak penganutnya di dunia, apalah artinya? Dua ratus tahun yang lalu kebanyakan manusia percaya bahwa bumi ini datar. Sejak itu mereka telah terbukti salah. Ketepatan dan kebenaran suatu kepercayaan tidaklah berhubungan dengan jumlah orang yang menerima kepercayaan tersebut.

Buddhisme boleh saja menjadi filosofi yang luhur, tetapi kalau kau melihat negara-negara Buddhis, kamu akan melihat kelihatannya sangat sedikit orang yang mengamalkan ajarannya.
Mungkin! Tetapi bukankah demikian halnya dengan negara-negara Kristen? Orang Kristen jujur yang mana yang berani mengatakan bahwa SEMUA orang Kristen secara penuh dan tulus menjalankan sepenuhnya ajaran Yesus? Marilah kita tidak mengadili sebuah agama atas dasar mereka yang tidak menjalankan ajaran agama itu.
===============================================================
Bab IX
Kesimpulan
Jika apa yang telah ditulis sejauh ini telah merangsang para pembaca untuk mengetahui lebih banyak tentang agama Kristen maupun Buddha, kita akan secara singkat mengajurkan Anda untuk membaca beberapa buku lain.
Sebuah buku yang terkenal dan mudah untuk dibaca yang membuka pikiran-pikiran keliru Kristen terhadap Yesus adalah “Evidence” oleh Ian Wilson, 1984. Wilson meneliti sejarah Alkitab dan menunjukkan bagaimana para sarjana Alkitab telah membuktikan tanpa ragu bahwa Alkitab adalah kumpulan yang tidak berantakan yang terkumpul selama beratus-ratus tahun. Dia juga menunjukkan bagaimana Yesus sang manusia secara bertahap-tahap dianggap sebagai Tuhan.
Sebuah buku lain adalah Rescuing the Bible from Fundamentalis” oleh John Spong, 19891. Spong adalah seorang uskup Kristen dan sarjana yang secara terbuka mengakui bahwa kebanyakan isi Alkitab adalah penuh cerita Mitos (khayalan) datau banyak salahnya, dan dia memberikan segudang bukti terhadap pengakuannya itu.
Mungkin buku yang paling ilmiah dan dengan studi-studi yang mengena dijaman modern ini adalah “Is Christianity True?” oleh Michael Arnheim, 1984. Studi yang mengagumkan ini meneliti setiap ajaran Kristen yang berpengaruh, dan membuka satu per satu dari mereka dibawah sorotan akal budi, dan tidak satupun dari ajaran itu yang lulus.
Banyak buku-buku yang baik sekali yang membahas ajaran-ajaran Sang Buddha. Suatu buku yang memperkenalkan ajaran Buddha adalah “The Life of the Buddha” oleh H. Saddhatissa, 1988. Buku ini berisi riwayat Sang Buddha dengan sangat lugas dan berisi pula tulisan-tulisan tentang ajaran dasar agama Buddha.
“What the Buddha Taught” oleh W. Rahula, 1985 dan “The Buddha’s Ancient Path” oleh Piyaddasi Thera,1979 juga buku-buku yagn baik bagi pemula.
“A Buddhist Critique of the Christian Concept of God” oleh G. Dharmasiri, 1988 adalah buku yang sangat baik dan berisi penelitian-penelitian yang sangat seksama terhadap konsep Protestan tetang Tuhan dari sudut pandang Buddhis.
Buku yang paling menarik adalah “Two Masters One Message” oleh Roy Amore, 1978. Di dalam studi ini, sang pengarang menunjukkan bahwa kebanyakan yang diajarkan oleh Yesus telah berasal dari agama Buddha.
Orang-orang Kristen Fundamentalis, merupakan ancaman bagi Buddhisme, dan sementara kita tidak bisa berharap untuk menandingi sikap agresif mereka ataupun kemampuan berorganisasi mereka, kita bisa dengan mudah membalas mereka dengan mengetahui banyak kelemahan dari ajaran agama mereka, dan mengetahui banyak kekuatan ajaran Buddhisme. Kalau tantangan Kristen bisa merangsang umat Buddha untuk menghargai Dhamma, dan hidup di dalam Dhamma, maka tantangan itu bermanfaat untuk Buddhisme.
=======